Shadow Leadership: Mantan yang Sulit Melepaskan

 

Dalam dinamika organisasi, kita sering menjumpai fenomena menarik yang kerap disebut sebagai “kepemimpinan bayangan” atau shadow leadership. Fenomena ini terjadi ketika seorang pemimpin yang secara formal sudah tidak menjabat tetapi masih mempertahankan pengaruh dan kontrol informal atas organisasi.

Pola ini memiliki beberapa karakteristik yang mudah dikenali. Misalnya, pemimpin lama masih ingin hadir dalam rapat-rapat penting, memiliki akses khusus ke fasilitas organisasi, atau bahkan memiliki pengaruh kuat dalam pengambilan keputusan. Yang menarik, pemimpin baru yang ditunjuk seringkali merupakan orang yang banyak sungkannya kepada pemimpin sebelumnya.

Foto: Pergantian Pupuhu Blogor dari MT ke Harrismaul (Bundadesi)

Dari sudut pandang psikologi organisasi, fenomena ini bisa dipahami sebagai bentuk “power attachment” atau kemelekatan pada kekuasaan. Seorang pemimpin yang terlalu lama memegang kendali mengalami kesulitan untuk melepaskan peran yang sudah menjadi bagian dari identitasnya.

Situasi ini menciptakan dilema tersendiri. Di satu sisi, pengalaman dan wawasan pemimpin lama memang berharga bagi organisasi. Namun di sisi lain, keterlibatan yang terlalu dalam dapat menghambat perkembangan kepemimpinan baru dan inovasi organisasi.

Beberapa dampak yang sering muncul antara lain:

  • Pemimpin baru kesulitan mengembangkan gaya kepemimpinan sendiri
  • Proses pengambilan keputusan menjadi tidak orisinal atau tulen
  • Inovasi dan perubahan boleh jadi terhambat
  • Memicu kebingungan anggota dalam rantai komando
  • Menurunnya respek anggota

Menariknya, fenomena ini tidak terbatas pada organisasi besar saja, seperti partai politik bahkan negara. Dalam lingkup yang lebih kecil seperti komunitas, organisasi kemasyarakatan atau bahkan unit bisnis keluarga, yayasan, dan sebagainya, pola serupa sering dijumpai. Pemimpin yang sudah tidak menjabat masih memegang kendali melalui berbagai mekanisme yang ia buat-buat sendiri. As if justification. Cara yang paling bisa ditebak adalah menitipkan “kekuasaannya” melalui orang titipannya.

Sebenarnya transisi kepemimpinan yang sehat bisa diibaratkan seperti proses pendewasaan dalam keluarga. Orangtua yang bijak tahu kapan harus memberi ruang pada anaknya untuk berkembang dan membuat keputusan sendiri. Demikian pula pemimpin yang arif, memahami pentingnya melepaskan kendali secara total ketika masa kepemimpinannya berakhir.

Lantas bagaimana sebaiknya peran mantan pemimpin dalam organisasi? Idealnya mereka bisa berperan sebagai penasihat yang memberikan masukan ketika diminta, bukan sebagai pengendali dari balik layar. Apalagi jika masih suka beraksi di atas panggung. Berbagi pengalaman dan wawasan tentu berbeda dengan memaksakan kehendak atau menciptakan sistem kontrol justifikatif.

Kemajuan organisasi bergantung pada kemampuannya beradaptasi dengan perubahan. Ini hanya mungkin terjadi jika ada ruang bagi kepemimpinan baru untuk berkembang dan berinovasi. Seperti kata pepatah, “Pohon besar tidak akan tumbuh di bawah pohon besar lainnya.”

Saya jadi ingat pertanyaan teman di Ambon. Kenapa kamu bisa begitu santai menyerahkan organisasi yang kamu bangun kepada orang-orang baru?

Jawabanku selalu sama. Ada satu fase yang kerap dilupakan oleh orang-orang yang membangun sesuatu, yaitu fase melepaskan. Ini memang sepertinya tidak lazim namun justru pada fase inilah yang membuat kita terhibur saat organisasi kita menjadi lebih baik, lebih berkembang di tangan orang baru.

Ketika seorang pemimpin benar-benar melepaskan kendali, ini bukan tanda kelemahan. Sebaliknya, ini menunjukkan kebijaksanaan dan kepercayaan pada kemampuan generasi berikutnya untuk membawa organisasi ke arah yang lebih gokil. Beberapa pemimpin yang merasa berat untuk melakukan pelepasan atas kemelekatan kekuasaan biasanya cuma karena overthinking atas masa depan organisasinya di tangan orang-orang baru. Kasihan, perkembangan mentalnya stagnan.

Bogor, 2012

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *