Digital Transformation Awkward

Transformasi digital telah menjadi mantra pembangunan di era digital. Banyak banget pihak yang senang menyebut lembaganya, organisasinya, pemerintahannya, dinasnya sedang melakukan transformasi digital, namun, di balik gemerlap jargon dan ambisi besar tersebut, terjadi fenomena yang jauh lebih kompleks yang saya sebut “canggung”. Jangankan di daerah Terdepan, Terluar, dan Tertinggal (3T) Indonesia, bahkan di kota besar pun kecanggungan tersebut masih bisa kita temukan. 

Kecanggungan Transformasi Digital itu menjadi kesimpulan saya, saat menyaksikan Dialog Kebijakan Publik: Membangun Ketahanan Desa: Strategi untuk Konektivitas Pedesaan dan Ketahanan Iklim, yang menjadi sesi pertama di hari pertama perhelatan Rural ICT Camp 2024. 

Dialog yang dimoderasi oleh Kang Ibek (Subekti W. Priyadharma) ini, menghadirkan banyak pembicara yang amat menarik pemaparannya. Mulai dari perwakilan Kedutaan Inggris (Ibu Alessandra Lustrati), perwakilan Kemendesdtt (Pak Sofyan Hanafi), perwakilan Kemenkes (Pak Setiaji), perwakilan Dirjen Aptika Kementerian Kominfo (Pak Slamet), Kepala Dinas Kominfo dari beberapa daerah, dan perwakilan organisasi masyarakat sipil. 

Dari sesi tersebut, para pembicara membabar apa yang sudah mereka lakukan dalam upaya transformasi digital. Termasuk bagaimana kemampuan mereka mengatasi berbagai tantangan pembangunan di daerah pedesaan, wabil khusus, daerah terpencil.

Dua kata kunci yang menarik perhatian saya dalam dialog tersebut adalah konektivitas dan kolaborasi. Hampir semua pembicara menyebut dua kata kunci tersebut. Saya terkagum-kagum menyimak pencapaian mereka yang terbayang keren dan solutif bagi masyarakat. Misalnya Pak Sofyan yang banyak menceritakan tantangan dan contoh baik kementeriannya dalam membantu konektivitas dan kolaborasi banyak desa-desa terpencil dalam pemanfaatan internet. Pak Sofyan beberapa kali menyebut agar para pejuang akses digital (yang menjadi peserta utama perhelatan tahunan Commonroom) bekerja sama dengan Bumdes. Saya memperhatikan ekspresi peserta, ada yang penuh harap dan ada juga yang tersenyum saja.

Giliran Pak Setiaji menjelaskan aplikasi SatuSehat yang memudahkan masyarakat saat berobat. Aplikasi tersebut menjadi solusi yang efektif dan efisien. Senang sekali membayangkan data rekam medis kita mudah diakses oleh semua layanan kesehatan di negara ini. Saya pun tergerak untuk menginstal kembali aplikasi tersebut (dulu pernah uninstall saat baru berganti dari aplikasi PeduliLindungi). Setelah login lancar, saya mengalami kendala saat melakukan verifikasi profil untuk melihat rekam medis. Akses tersebut hanya bisa terbuka jika saya melakukan verifikasi dengan 2 cara: pertama adalah masuk ke aplikasi Identitas Kependudukan Digital. atau, cara kedua adalah, saya harus datang langsung ke Fasilitas Kesehatan. Cara kedua tak mungkin saya lakukan karena sedang tidak berada di domisili sesuai e-KTP. Saya coba cara pertama, namun saya ingat, beberapa bulan sebelumnya pernah gagal mendaftarkan identitas saya karena harus melakukan pendaftaran di hadapan petugas Disdukcapil untuk memberikan rekam e-KTP, Alamat E-mail, dan Nomor Handphone. Karena saya jarang banget ada di rumah, jadi belum punya waktu untuk ke kantor Disdukcapil. Sebelumnya saya membayangkan dengan aplikasi tersebut, tidak perlu repot-repot ke kantor Disdukcapil tapi cukup verifikasi online via video call seperti saat saya menginstal aplikasi Bank Digital. Tak pernah sekalipun saya ke kantor Bank, tak perlu buku tabungan pula. Semua dilakukan full online. Kenapa aplikasi SatuSehat maupun IKD tak bisa semudah itu? 

Itu hanya contoh kecil, bagaimana konektivitas dan kolaborasi yang digaungkan masih menyimpan sejumlah kecanggungan, jika kurang cocok menyebutnya sebagai masalah. 

Setelah semua pembicara selesai, termasuk dari perwakilan Dinas Kominfo, Komunitas, dan Organisasi Masyarakat Sipil, saya menangkap dua aspek utama yang menghambat efektivitas konektivitas dan kolaborasi antara berbagai pemangku kepentingan dalam konteks transformasi digital yaitu: Sinkronisasi dan Kompatibilitas.

1. Sinkronisasi: Tarian yang Tidak Seirama

Saya terkesan dengan tarian penyambutan tamu yang dilakukan oleh anak-anak Ciracap. Terasa banget sinkronisasi antara gerakan dan musik yang memayungi puluhan anak-anak itu. Sesuatu yang sinkron, tentu enak dirasakan dan dinikmati.

Dalam transformasi digital di Indonesia, sinkronisasi—atau lebih tepatnya kurangnya sinkronisasi— menjadi hambatan signifikan. Ibarat sebuah tarian, di mana setiap penari seharusnya bergerak dalam harmoni, kita justru menyaksikan gerakan yang tidak seirama antara berbagai pihak yang terlibat.

Salah satu manifestasi utama dari masalah ini adalah perbedaan prioritas dan agenda antara pemerintah pusat dan daerah. Pemerintah pusat seringkali menerapkan pendekatan “one size fits all“, merancang kebijakan dan program yang seragam untuk seluruh Indonesia. Untuk beberapa hal oke saja, tapi tidak untuk semua urusan. Pendekatan ini, meskipun mungkin efisien dari sudut pandang administratif, sering kali gagal mempertimbangkan keunikan dan kebutuhan spesifik daerah. 

Di sisi lain, pemerintah daerah, yang lebih memahami kondisi lokal, terkadang terjebak dalam mengejar proyek-proyek jangka pendek yang memberikan hasil cepat namun kurang substansial. Akibatnya, terjadi ketidakselarasan antara visi jangka panjang transformasi digital dan realitas implementasi di lapangan.

Ketidakselarasan ini semakin diperparah oleh perbedaan implementasi program. Seringkali, inisiatif transformasi digital diluncurkan tanpa mempertimbangkan kesiapan infrastruktur dasar di daerah. Misalnya, program e-government mungkin diperkenalkan di daerah yang bahkan belum memiliki akses internet yang stabil. Hal ini menciptakan kesenjangan antara ekspektasi yang tinggi dari pembuat kebijakan dan realitas yang dihadapi masyarakat di lapangan. Alih-alih memfasilitasi kemajuan, program-program ini justru dapat menimbulkan frustrasi dan skeptis terhadap inisiatif digital secara keseluruhan.

Lebih lanjut, komunikasi yang terfragmentasi antara berbagai pemangku kepentingan memperburuk situasi. Alur informasi yang tidak lancar antara pemerintah pusat dan daerah, serta antara pemerintah dan masyarakat, apa lagi dengan sektor bisnis, sering kali mengakibatkan miskomunikasi. Ini bisa berarti, informasi penting tentang kendala lokal tidak sampai ke pembuat kebijakan di pusat, atau sebaliknya, penjelasan tentang tujuan dan manfaat program tidak efektif disampaikan kepada masyarakat. Akibatnya, terjadi kesalahpahaman dan kurangnya dukungan terhadap inisiatif transformasi digital.

2. Kompatibilitas: Puzzle yang Tidak Cocok

Waktu masih jadi tukang reparasi komputer di era 90-an, saya seringkali mendapatkan order dari klien untuk melakukan upgrade hardware. Upgrading tidak akan berhasil jika tidak mempertimbangkan kompatibilitas hardware maupun software.

Kurangnya kompatibilitas menjadi isu krusial lainnya dalam upaya transformasi digital. Ibarat sebuah puzzle, di mana setiap potongan seharusnya saling melengkapi untuk membentuk gambaran yang utuh, kita justru melihat potongan-potongan yang tidak cocok satu sama lain.

Kesenjangan teknologi menjadi manifestasi paling nyata dari masalah kompatibilitas ini. Infrastruktur dan perangkat teknologi yang tersedia di daerah seringkali jauh tertinggal dibandingkan dengan yang ada di kota-kota besar. Akibatnya, solusi digital canggih yang mungkin berfungsi baik di daerah perkotaan menjadi tidak relevan atau bahkan tidak dapat dioperasikan di daerah. Misalnya, aplikasi e-government yang membutuhkan koneksi internet berkecepatan tinggi mungkin tidak dapat diakses oleh masyarakat yang hanya memiliki koneksi internet yang lambat dan tidak stabil. Situasi ini menciptakan kecanggungan dan dapat menghalangi adopsi teknologi di daerah-daerah yang justru paling membutuhkannya.

Perbedaan kapasitas Sumber Daya Manusia (SDM) juga menjadi tantangan besar. Terdapat kesenjangan yang signifikan antara kompetensi digital yang dibutuhkan untuk mengimplementasikan dan menggunakan teknologi baru, dengan keterampilan yang dimiliki oleh masyarakat dan aparatur pemerintah di daerah. 

Program pelatihan yang dirancang untuk meningkatkan literasi digital boleh jadi tidak disesuaikan dengan konteks lokal. Akibatnya, meskipun pelatihan diberikan, peserta mungkin kesulitan untuk menerapkan pengetahuan baru mereka dalam konteks kehidupan sehari-hari atau pekerjaan mereka. Ini bukan hanya masalah teknis, tetapi juga masalah relevansi dan aplikabilitas.

Terakhir, ketidaksesuaian regulasi menambah kompleksitas tantangan kompatibilitas. Regulasi yang dibuat di tingkat pusat, meskipun mungkin bermaksud baik, terkadang tidak sejalan dengan realitas dan kebutuhan daerah. Misalnya, peraturan tentang sentralisasi data, mungkin mengharuskan spesifikasi tertentu yang sulit dipenuhi di daerah terpencil, atau prosedur birokrasi yang rumit mungkin menghambat implementasi solusi digital yang dibutuhkan mendesak. Akibatnya, alih-alih memfasilitasi transformasi digital, regulasi yang tidak kompatibel justru menciptakan hambatan birokratis yang menghambat kemajuan.

Kombinasi dari kesenjangan teknologi, perbedaan kapasitas SDM, dan ketidaksesuaian regulasi menciptakan situasi di mana upaya transformasi digital di daerah seringkali terasa seperti mencoba memaksakan potongan puzzle yang tidak cocok. Untuk mengatasi ini, diperlukan pendekatan yang lebih fleksibel dan kontekstual, yang mempertimbangkan realitas unik daerah dan berusaha menciptakan solusi yang benar-benar kompatibel dengan kondisi setempat.

Implikasi dan Tantangan

Kurangnya sinkronisasi dan kompatibilitas dalam upaya transformasi digital di daerah menimbulkan berbagai kecanggungan yang serius. Pertama, terjadi pemborosan sumber daya yang signifikan. Ketika program-program digital tidak dirancang dengan mempertimbangkan kondisi lokal, hasilnya boleh jadi tidak efektif. Bahkan, tidak jarang terjadi tumpang tindih antara berbagai inisiatif, yang berarti uang, waktu, dan tenaga terbuang sia-sia untuk program yang pada akhirnya kurang bermanfaat bagi masyarakat.

Lebih lanjut, situasi ini menciptakan resistensi di kalangan masyarakat terhadap berbagai inisiatif digital. Ketika program yang diperkenalkan tidak sesuai dengan kebutuhan lokal atau terlalu rumit untuk diakses dan digunakan, masyarakat cenderung enggan untuk mengadopsinya. Mereka mungkin merasa bahwa teknologi ini tidak relevan dengan kehidupan mereka sehari-hari atau terlalu sulit untuk dipelajari, sehingga akhirnya memilih untuk mengabaikannya.

Akibatnya, alih-alih mengurangi kesenjangan, upaya transformasi digital yang tidak tepat sasaran justru dapat memperlebar jurang digital antar daerah dan wilayah lainnya di Indonesia. Sementara daerah perkotaan dan lebih maju terus berkembang dengan adopsi teknologi yang pesat, daerah 3T semakin tertinggal karena ketidakmampuan untuk memanfaatkan potensi digital secara efektif.

Yang paling mengkhawatirkan, kegagalan berulang dari program-program pemerintah dapat mengikis kepercayaan masyarakat. Ketika janji-janji tentang manfaat teknologi tidak terwujud dalam realitas kehidupan mereka, masyarakat mungkin menjadi skeptis terhadap inisiatif pemerintah di masa depan. Hilangnya kepercayaan ini bukan hanya berdampak pada program transformasi digital, tetapi juga dapat mempengaruhi hubungan antara masyarakat dan pemerintah secara lebih luas.

Dengan demikian, tantangan yang dihadapi bukan hanya masalah teknis, tetapi juga sosial dan psikologis. Mengatasi kesenjangan digital di daerah 3T membutuhkan pendekatan yang jauh lebih holistik dan sensitif terhadap konteks lokal, untuk memastikan bahwa transformasi digital benar-benar membawa manfaat yang nyata dan berkelanjutan bagi masyarakat.

Rekomendasi untuk Transformasi Digital yang Lebih Inklusif

Untuk mengatasi tantangan dalam transformasi digital di daerah, diperlukan pendekatan yang lebih inklusif dan kontekstual. Pertama, sangat penting untuk mengadopsi pendekatan bottom-up dalam perencanaan dan implementasi program digital. Ini berarti melibatkan komunitas lokal secara aktif sejak tahap awal. Dengan mendengarkan suara dan gagasan masyarakat setempat, kita dapat memahami kebutuhan nyata mereka dan merancang solusi yang benar-benar relevan. Pendekatan ini tidak hanya meningkatkan efektivitas program, tetapi juga membangun rasa kepemilikan di kalangan masyarakat, yang pada gilirannya akan mendorong adopsi dan keberlanjutan inisiatif digital.

Selanjutnya, kustomisasi program menjadi kunci keberhasilan. Alih-alih menerapkan solusi seragam, setiap inisiatif digital harus disesuaikan dengan konteks dan kebutuhan spesifik daerah. Ini mungkin melibatkan adaptasi teknologi agar sesuai dengan infrastruktur yang tersedia, atau merancang aplikasi dalam bahasa lokal untuk meningkatkan aksesibilitas. Dengan pendekatan yang disesuaikan ini, program-program digital akan lebih mudah diterima dan dimanfaatkan oleh masyarakat setempat.

Peningkatan koordinasi antar pemangku kepentingan juga sangat diperlukan. Pembentukan tim lintas sektor yang melibatkan pemerintah pusat dan daerah, organisasi masyarakat sipil, komunitas lokal, dan sektor bisnis dapat memfasilitasi pertukaran ide dan sumber daya. Kolaborasi ini memungkinkan pendekatan yang lebih holistik terhadap transformasi digital, memastikan bahwa berbagai perspektif dan keahlian dipertimbangkan dalam setiap tahap proses.

Investasi dalam pengembangan Sumber Daya Manusia (SDM) merupakan komponen vital lainnya. Fokus harus diberikan pada peningkatan literasi digital yang kontekstual. Artinya program pelatihan harus dirancang dengan mempertimbangkan latar belakang, kebutuhan, dan aspirasi masyarakat lokal. Ini bisa mencakup pelatihan keterampilan digital dasar hingga program yang lebih advanced untuk menciptakan inovator digital lokal. Dengan meningkatkan kapasitas SDM lokal, kita tidak hanya memfasilitasi adopsi teknologi tetapi juga memberdayakan masyarakat untuk menjadi agen perubahan dalam komunitas mereka sendiri.

Terakhir meskipun tak berakhir, evaluasi berkelanjutan menjadi elemen penting untuk memastikan keberhasilan jangka panjang. Melakukan assessment reguler terhadap program-program yang diimplementasikan memungkinkan kita untuk mengidentifikasi apa yang berhasil dan apa yang perlu diperbaiki. Evaluasi ini harus melibatkan umpan balik dari masyarakat pengguna dan menggunakan metrik yang relevan dengan konteks lokal. Dengan pendekatan ini, program-program digital dapat terus disesuaikan dan ditingkatkan untuk memastikan relevansi dan efektivitasnya dalam jangka panjang.

Dengan menerapkan rekomendasi ini secara komprehensif, kita dapat bergerak menuju transformasi digital yang lebih inklusif di daerah. Pendekatan ini tidak hanya mengatasi tantangan teknis, tetapi juga mempertimbangkan aspek sosial, budaya, dan ekonomi, sehingga menciptakan perubahan yang benar-benar bermakna dan berkelanjutan bagi masyarakat di daerah-daerah tersebut.

Transformasi digital di daerah tidak bisa hanya mengandalkan transfer teknologi semata. Diperlukan pendekatan holistik yang mempertimbangkan aspek sinkronisasi dan kompatibilitas antara berbagai pemangku kepentingan. Hanya dengan mengatasi “kecanggungan” dalam proses transformasi digital ini, kita dapat berharap untuk menciptakan perubahan yang benar-benar bermakna dan berkelanjutan bagi masyarakat.

Saya beruntung banget bisa menyaksikan dialog yang santai dan blak-blakan ini. Kita tak hanya belajar bersama dari keberhasilan, tetapi juga mau belajar dari berbagai kecanggungan yang kita insyafi bersama.

Ciracap, 7 Oktober 2024

One response to “Digital Transformation Awkward”

  1. Data Pribadi Kita Dicatut, Negara Nggak Kalang Kabut – #blogMT

    […] canggih kalau yang punya data aja nggak tau cara pakainya. Ini relate sama postingan saya berjudul Digital Transformasi Awkward. Intinya sih, kita sebagai warga negara jangan sampai pasrah kalau data pribadi kita dicatut. Harus […]

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *