Hanya 7 menit berjalan kaki santai dari tempatku menginap selama di Dili. Hanya 2 malam aku tak menikmati malam di ruang terbuka publik ini. Sisanya selalu duduk di salah satu tempat duduk di taman itu, berbincang dengan seorang bapak berambut, berkumis dan jenggot serba putih. Selebihnya kunikmati sunyi sendiri.
“Maaf kalau saya merokok.” izinku padanya yang menolak saat kutawarkan rokok. Ia bilang sudah jarang merokok lagi. Dulu waktu masih muda, terutama masih sering di hutan, ia selalu dekat dengan rokok.
Largo de Lecidere menjadi tempat berkumpul warga Dili dan sekitarnya. Penduduk dari berbagai distrik pun kerap menjadikan taman ini sebagai destinasi perjalanan ke kota.
Sejak siang hari, taman yang didesain sebagai paru-paru kota ini sudah ramai dikunjungi orang. Selain pantainya yang indah, lautnya yang biru, perahu nelayan dan kapal besar yang ada di pesisir hingga tengah laut membuat pemandangan menjadi sempurna.
Sore lebih banyak yang berolaraga di sekitar situ. Apa lagi ada lapangan sepak bola di sisi ke arah timur. Kalau ada yang lagi tanding sepak bola, ramai sekali warga setempat menonton pertandingan itu. Terus ke timur, akan bertemu dengan Ponte Presidente BJ Habibie, Jembatan Habibie yang dibangun sebagai penghormatan atas tokoh Habibie.
Penjual kelapa dan jajanan lain seperti bakso dan nasi goreng juga ada sampai malam. Sediakan uang 100 centavos atau 1 USD untuk menikmati sebutir kelapa muda. Bakso bisa kamu tebus dari 1 hingga 3 USD tergantung variasinya. Cuma sekali aku makan bakso di sekitar Largo ini. Selebihnya lebih banyak menikmati suasana malam dan berbincang dengan siapa saja yang menemaniku saat sedang ngelepus sendirian.
Pertamakali bertemu dengan pak tua itu bukan di tepi pantai, tetapi di sebuah taman seberang Largo de Lecidere. Taman Fatima namanya, di mana terdapat Monumento a Nossa Senhora atau patung bunda Maria. Saat di situlah ia menyapaku dengan keramahan yang sudah biasa kusaksikan sejak pertama kali memasuki Bandara Presidente Nicolau Lobato. Ya, sesungguhnya aku menyaksikan bahwa orang Timor Leste ramah banget.
“Banyak orang ke sini bawa handphone. Tetapi saya lihat dari kemarin malam, kamu tidak bawa. Apa tidak tertarik berfoto seperti anak muda lainnya?”
“Nomor saya kan nomor Indonesia, pak. Jadi tak ada sinyal di sini. Saya juga tak berniat membeli nomor sementara di Timor Leste ini.”
“Di Largo ada free wifi. Banyak yang pakai.” Balasnya sambil tertawa kecil.
“Saya sedang tak berniat terkoneksi dengan siapapun lewat hape. Saya ingin menikmati sunyi di sini dan sejak malam pertama ke pantai ini, saya merasa pas bermalam di sini daripada rebahan atau duduk di hotel namun tetap tak bisa tidur.”
“Duka memang dapat membuat orang jadi penikmat sunyi.”
Katanya sambil menepuk bahuku berkali-kali.
“hahaha…” aku tertawa lama hingga mataku basah, “saya tidak sedang berduka, pak. saya baik-baik saja. ingin santai saja… hahaha…” Jawabku.
“Ya, saya mengerti tawamu. Kita bicarakan soal lain saja. Apa yang kamu rasakan tentang Timor Leste?”
Pertanyaan itulah yang membuat kami jadi berbincang panjang beberapa malam hingga jam 2-3 dini hari ketika ia mengingatkanku untuk istirahat sebab esok pagi harus bekerja kembali di Palacio de Governo. Sebuah nama yang bikin preman kabur. Karena apa? ini cerita lain yg kualami di Dili.
Leave a Reply