Biasa dong, sebelum traveling ke suatu tempat, kamu browsing dulu di internet. Begitulah yang kulakukan sebelum ke Pulau Tunda. Banyak juga netizen yang mengunggah foto maupun video saat mereka ke Pulau Tunda. Indah? Yey! Rata-rata mereka hanyut dengan keindahan wisata bawah lautnya. Snorkeling dan Diving kebanyakan jadi tujuan utama.
Satu lagi, info yang kudapat dari netizen yang mereka tulis di komentar Google Local Guide, mereka bisa menikmati surga tanpa internetan. Mereka bilang di Pulau Tunda sama sekali tak ada sinyal handphone. Operator yang ada cuma Indosat dengan sinyal yang tak stabil. Jangan berharap dapat 3G apa lagi 4G, dapat EDGE aja udah untung. Benarkah?
Nah, buat kamu yang sudah pernah maupun yang belum dan ingin mengunjungi Pulau Tunda, ini update dariku. Aku ke sana 27-29 Agustus 2020. Ada 6 hal yang perlu kamu tahu tentang Pulau Tunda.
1. Berangkat dari Karangantu
Kamu bisa nyeberang ke Pulau Tunda dengan moda transportasi laut, yaitu perahu atau kapal (sebutan sehari-hari orang sana). Kalau punya speedboat atau helicopter juga boleh. kamu bisa mendarat di lapangan atau turun melalui tangga helimu di dermaga. Umumnya sih ya, naik perahu atau kapal. Aku dan teman-teman setim e-Klepon pun naik perahu dari Pelabuhan Karangantu, Serang, Banten. Berapa lama perjalanannya? Lihat di IG berikut.
Di Pelabuhan Karangantu kamu bisa naik kapal reguler maupun charter. Untuk reguler hanya ada pada hari Senin, Rabu, dan Sabtu pada sekira jam 1-2 siang. Untuk kapal charter tentu bisa disesuaikan dengan jadwalmu. Charternya ke siapa?
2. Pilih Pemandu Asli Pulau Tunda
Agar perjalananmu ke Pulau Tunda lebih nyantai dan nggak ribet, mending pesan paket liburan ke penyedia layanan travel pulau tunda. Kamu bisa memilih berbagai paket sesuai kebutuhan. Aku dan Tim memilih jasa travelpulautunda.com. Biayanya? Kamu baca aja di situsnya. Lengkap banget! Pengelolanya bernama Sobri, penduduk setempat Pulau Tunda. Anak muda keren ini tahu banyak seluk-beluk Pulau Tunda. Orangnya ramah dan berpengetahuan. Aku sih sudah ngobrol dengannya. Ada di podcast dan vlogue sebagai pra kenalan. Bermalam di rumahnya yang bertitel “Home Stay Kerapu” juga asyik. Tersedia 3 kamar dan 2 kamar mandi yang airnya hm…. sejuk!
3. Rahasia Air Sejuk Pulau Tunda
Biasanya kalau di pulau, air tanahnya anta atau payau. Kalau buat mandi terasa lengket dan tidak enak untuk diminum. Nah, di Pulau Tunda, nggak gitu. Setibanya di rumah Kang Sobri, aku mandi. Airnya sejuk sekali. Kupakai untuk kumur-kumur dan berwudhu, terasa tawar. Sama sekali tidak terasa payau. Segar. Bahkan air yang ditimba dari sumur di depan kamar mandi itu amat layak diminum.
Kutanyakan ke Kang Sobri, kenapa air di Pulau Tunda begitu segar dan nggak bikin kulit tubuh kita ini terasa lengket. Dia bilang, pernah ada peneliti yang datang ke Pulau Tunda dan menyimpulkan rahasia yang membuat Pulau Tunda memiliki air tawar yang berlimpah. Yang pertama karena di Pulau Tunda masih banyak terumbu karang. Rumput Laut adalah rahasia kedua. Sedangkan rahasia ketiga adalah masih terjaganya hutan mangrove di Pulau Tunda. Ketiga unsur itulah yang menyaring penyerapan air laut ke dataran pulau Tunda.
Aku menyaksikan sendiri bagaimana warga Pulau Tunda rajin merawat ketiga bagian alam mereka. Suatu pagi aku bertemu dengan 2 orang yang sedang mengangkut karang dari pantai Karang Donat. Kutanya, “kenapa diangkut, mau di bawa ke mana?” Aku kira karang-karang itu akan dijadikan bahan untuk membangun jalan atau bangunan. Ternyata mereka memakai karang tersebut untuk transplantasi terumbu karang di pantai sebelah Timur pulau ini.
Mereka rutin merawat alamnya sendiri agar alam pun menjaga hidup mereka. “Jika terumbu karang rusak, maka ikan akan menjauh dari kami. Karena itu kami harus menjaganya.” Kata Sobri. Ia juga menceritakan, warga Pulau Tunda pernah mengalami dampak kerusakan alam, yaitu ketika pasir mereka ditambang untuk reklamasi pulau di Jakarta.
Aku berharap warga Pulau Tunda tak pernah lelah menjaga keseimbangan alamnya. Terasa banget nikmatnya alam di sana. Saat malam aku berdiri di dermaga dan jelas sekali taburan bintang gemintang di langit. Semilir angin, deburan ombak, dan kapal-kapal yang parkir di dermaga begitu indah di bawah cahaya bulan.
Amat kunikmati malam tanpa cahaya dari listrik. What? Tanpa Listrik?
4. Mahalnya Listrik Usaha Sendiri
Dalam keadaan normal warga Pulau Tunda bisa mendapatkan listrik dari jam 6 sore hingga 10 malam. Untuk 4 jam itu mereka harus bayar 2 ribu perak. Namun sayang sekali ketika aku nginap di sana selama 3 hari 2 malam, PLTD (Pembangkit Listrik Tenaga Diesel) sudah rusak sebulan. Tak ada tanda-tanda bakal diperbaiki.
Saat berjalan dari dermaga menuju rumah kang Sobri, kulintasi bangunan di area cukup luas. “Wah, keren ada PLTS!” seruakku. Kulihat deretan solar panel di stasiun Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) yang cukup kokoh dengan pagar yang rapih.
“Di sini ada 2 stasiun solar panel. Satu lagi di sana, bahkan lebih luas dari yang di sini.” Kang Sobri menunjuk ke arah yang aku baru tahu kemudian adalah arah ke area snorkeling. Wah, keren dong jika sudah ada PLTS, berarti biaya listrik warga bisa lebih murah.
“Sayang sekali PLTS itu nggak kunjung beroperasi.” ungkap Kang Sobri, lemes.
“Jiah! Kenapa? Sayang banget kalo bangunan seluas ini gak berfungsi. Ini kan buat kebutuhan warga, kenapa nggak beroperasi?” Bukan cuma aku yang bertanya, teman-temanku yang kadang waras kadang segleg juga bertanya hal yang sama.
“Nggak tau pasti sih, kenapa nggak beroperasi. Saya taunya, pemborongnya nggak lanjut aja.” Jawab kang Sobri kalem. Lalu seekor biawak besar lewat di antara tiang solar panel itu. “Hm, jadi sarang biawak!” selorohku.
Jadi begitulah kondisi si Pulau Tunda. Warga terbiasa hidup tanpa listrik. Aku membatin, sering banget aku menemukan status di media sosial yang memaki-maki PLN ketika listrik mereka padam sejam hingga seharian. Warga di Pulau Tunda ini sudah sebulan tak punya listrik. Jadi, aku berjanji tak akan lagi nyinyir sama PLN kalau mereka memadamkan listrik rumahku. Belajar pasrah dari warga Pulau Tunda.
Waktu kami nginep di rumah kang Sobri, tersedia listrik untuk lampu dan ngecas-ngecas kamera dari jam 6 sore sampai 6 pagi. Untuk menyediakan listrik itu, kang Sobri harus mengisi gensetnya dengan 10 liter bensin. Harga seliter di sana 12K. Jadi untuk semalaman, ia harus keluar 120K. Aku langsung tepok jidat. Betapa mahalnya biaya listrik jika warga mengusahakannya sendiri. Kalau aku, 120K bisa buat beli token seminggu. Di sini cuma semalam. Salut banget dengan daya juang warga Pulau Tunda.
Sebentar. Mungkin ada yang bingung ketika aku nulis e-Klepon. Benda apa itu? Kenapa kami sampai mebawanya ke Pulau Tunda? Tonton video ini:
Perihal listrik di sini belum selesai. Aku berkunjung ke rumah warga untuk melanjutkan syuting. Setibanya di rumah “bolang” untuk mencoba alat belajar komunal e-Klepon, ia bilang, “di rumah saya gak ada listriknya.” blesss…, hatiku mencelos. Aku baru ingat kalau warga tak punya listrik sehingga tak bisa mencoba single board computer atau raspberry pi yang sudah dimodif menjadi e-klepon oleh tim ICT Watch.
“Kalau begitu pinjam dulu batre solar panel yang kita bawa buat sekolah, biar bisa dipakai di rumah ini.” Saran eyank Tjatur yang ngoprek e-Klepon. Dua dari tiga bocah Pulau Tunda itu pun segera bergegas ke sekolah. Antusias sekali mereka, ingin mencoba belajar di rumah pakai e-Klepon. Oh iya, mereka nggak ada yang punya hape. Sekadar tau saja.
Kembali ke listrik. Aku berharap pemerintah daerah Kabupaten Serang, di mana Pulau Tunda tercatat sebagai bagian dari wilayah Provinsi Banten, segera memikirkan nasib rakyatnya. Cobalah arahkan prioritas ke daerah di luar daratan, yaitu di pulau-pulau. Manfaatkan dana desa untuk memudahkan mereka belajar, berekonomi, dan tentu hidup dengan biaya listrik yang “normal”. Hidupkan kembali 2 stasiun solar panel 25 Kilo volt amper yang keren itu. Jangan sampai cuma jadi sarang biawak. Plis banget. Jangan cuma omdo ya. Matur Tengkyu
5. Perhatikan Pertanda Lokal
Di mana bumi dipijak, di situ langit dijunjung. Itulah prinsip yang mestinya diingat oleh travelers. Di mana saja aku tiba di sebuah lokasi, aku kerap bertanya kepada penduduk setempat, terutama kepada tokoh masyarakat tentang apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan di wilayahnya. Kenapa begitu, simpel aja, aku menyadari setiap tempat pasti punya adat. Sudah sepantasnya sebagai tamu kita menghormati adat dan budaya.
Pulau Tunda sebenarnya bukan destinasi wisata yang lekat dengan adat leluhur. Penduduk di sini turun temurun patuh pada hukum. Itulah kenapa nama desa di Pulau Tunda adalah Wargasara, sekelompok warga yang patuh pada hukum. Secara budaya warga di sini berasal dari dua kelompok besar, yaitu dari Kepulauan Seribu, tepatnya Pulau Tidung, dan dari Serang Daratan. Dua akar budaya yang berbeda tipis itu melekat dalam akar relijius.
Kalau kita ke sana, sebaiknya memahami kepantasan yang ditetapkan di Pulau Tunda. Ini dia di antaranya (dikutip dari travelpulautunda.com):
- Dilarang membawa minuman beralkohol, sabu, ganja, dan sejenisnya yang melanggar hukum.
- Dilarang membuang sampah sembarang di laut atau di darat. Dilarang memegang atau menginjak semua jenis terumbu karang.
- Dilarang mengambil biota laut dan darat yang ada di Pulau Tunda.
- Dilarang menggunakan pakaian bikini di area perkampungan penduduk.
- Dilarang bersuara keras di atas jam 11 malam di area perkampungan.
- Dilarang pria dan wanita yang belum menikah tidur satu kamar.
Pengalaman kami selama di sana, asyik banget. Semua warga yang kami temui baik dalam kegiatan maupun dalam perseliweran jalan, ramah banget. Dari anak kecil, remaja, hingga orang tua, terbiasa ramah kepada para pendatang. Dan satu pengalaman yang kuceritakan di lain waktu adalah, jujurnya anak SMP yang kuajak syuting. Ini nanti aja diceritakan. Mending simak testimoni teman-teman saya saja usai snorkeling. Sekaligus testimoni real sinyal indosat di sana.
6. Jangan Tunda Makan Sukun
Di Pulau Tunda banyak banget pohon Sukun. Buahnya biasa dijadikan cemilan gorengan. Jadi pelengkap ngopi atau ngeteh. Ada juga yang dibuat keripik. Nah, yang satu ini nikmat banget. Saking enaknya sampai kami melupakan sopan santun waktu sowan ke rumah pak Lurah.
Setiba di Pulau Tunda, kami berkunjung ke rumah Pak Hasyim, Kepala Desa Wargasara. Biasanya dipanggil pak Lurah. Beberapa warga biasa menyebutnya Pak Rurah, hehehe… Saat berbincang ramah istri beliau menyediakan keripik sukun untuk melengkapi teh manis. Saking enaknya, salah satu di antara kami bilang, “Maaf, Pak Lurah. Apakah toples keripiknya harus dikembalikan?” Sontak saat kami permisi untuk melanjutkan kegiatan, bu Lurah membekali kami sekantong plastik besar keripik sukun buatannya sendiri. Makasih, Bu, Pak, dan maafkan teman kami yang keceplosan karena “halu” Sukun 😀
Aku bilang ke Kang Sobri, sebaiknya Sukun yang pohonnya banyak di sini bukan hanya dijadikan jajanan khas dalam bentuk gorengan atau keripik. Daunnya pun bisa diolah menjadi minuman herbal berkhasiat. Kang Sobri pun akan melakukan riset lebih mendalam soal ide tersebut. Ya, semoga saja ada tambahan produk khas dari Pulau Tunda sebagai oleh-oleh bagi travelers yang ke sana. Kami pun kembali ke Jakarta membawa 2 karung buah Sukun, oleh-oleh dari Kang Sobri.
Leave a Reply