Dua hari aku sempatkan rihat sosial media. Apa yang terasa selama dua hari mencoba tak bermedsos?
Yang pasti merasa ada yang hilang, yaitu saluran untuk melampiaskan kegemasan terhadap apa yang kusaksikan dalam perseliweranku. Mungkin sudah jadi kebiasaan sebagai netizen (orang kita biasa menyebutnya warganet) untuk merespon apapun yang disaksikannya. Apa saja kita komentari, positif maupun negatif. Sah-sah saja sih. Memang untuk itulah sepertinya media sosial dibuat, agar siapapun bebas mengekspresikan diri, menyampaikan apa yang ingin disampaikan.
Namun ada juga rasa jenuh dengan media sosial. Terutama apabila membaca perseteruan politik yang tak ada habisnya. Yang kurasakan banget sih sejak munculnya orang semacam Jokowi dan Ahok, banyak sekali kenyinyiran berseliweran di media sosial. Perseteruan politik sepertinya faktor paling kuat dalam memicu berseraknya status di media sosial. Wajar saja. Namanya juga pendukung dan pembenci, di mana lagi mereka bisa menyuarakan pendapatnya kalau bukan di media sosial. Awalnya seru juga menyaksikan perseteruan politik di media sosial, tetapi lama-lama koq terasa membosankan.
Tunggu. Apakah lantaran perseteruan politik itu yang membuatku rihat media sosial? Sejujurnya, bukan.
Aku cuma ingin menguji berapa lama sanggup menjalani hari-hari tanpa media sosial. Facebook, Instagram, dan Twitter kumatikan sementara. Hari pertama berlangsung lancar saja. Aku hanya membaca kondisi di negeri ini melalui aplikasi berita saja. Kompas dan Kumparan adalah dua aplikasi yang kupasang di hapeku. Namun ternyata gara-gara berita di dua aplikasi itu, keinginan untuk menulis status bangkit lagi. Tapi kutahan. Aku ingin belajar mengurangi kebiasaan mengomentari apa yang kubaca.
Hari pertama berhasil. Seharian itu hidup tanpa bermediasosial terasa enak juga. Bagaimana dengan hari kedua? Berjalan seperti hari pertama. Aku juga merasa bebas dari status teman-teman yang biasa berseteru. Meskipun itu bukan tujuan rihat, tetapi ternyata enak juga tak mendapatkan sajian status yang saling “ngenyek” antara pendukung Jokowi melawan pendukung Prabowo.
Rihat medsos ini bisa juga kunamakan detoks medsos. Terinspirasi dari buku Data Detoks Kits keluaran Tactical Technology Collective. Buku tersebut memandu bagaimana kita menyembuhkan diri dari kebiasaan yang lepas kontrol di internet. Cukup mempraktikkan selama 8 hari, mudah-mudahan kita bisa jadi lebih baik dalam mengumbar data pribadi di internet. Yang tertarik dengan buku tersebut dapat mengunduhnya di https://datadetox.myshadow.org. Untuk versi bahasa Indonesia mungkin masih dalam proses sampai diunggah. Beruntung aku dapat kiriman dari @antonemus buku Data Detok Kits edisi bahasa Indonesia. Yang tertarik coba aja mention dia di IG atau Twitter 😀 #sebartanpaizin
Eh iya, bagaimana hasil detoks medsosku selama dua hari? Biasa saja, hahaha…. Jadi sebenarnya solusinya bukan berapa lama kita menghindari media sosial, tetapi dari seberapa kuat kita menahan diri untuk tidak selalu membaca dan menyebar kenyinyiran di media sosial. Semua kembali ke diri kita sendiri. Kita bebas mengomentari apapun selama tidak terjerumus dalam pasal-pasal pelanggaran pencemaran nama baik, SARA, dan penyebaran kebencian. Kalau sampai kena, ya repot sendiri nanti. Plus yang pasti ngerepotin keluarga juga.
Ya, intinya sih detoks medsos perlu juga jika kita sudah merasa melampaui batas kenyinyiran. Eh, apa nih batasnya? Tentukan sendiri saja batasnya. Setiap orang punya hati yang bisa membatasi nafsu, koq.
Tetapi bukan berarti kita harus diam, ya. Jika menemukan kabar baik, boleh dong berbagi kebaikan. Jika ada kekeliruan yang kita saksikan, ya luruskan kekeliruan tersebut dengan cara yang baik dan dengan menyajikan data yang benar. Jangan sekadar nyinyir doang tanpa data. Apalagi jika melihat ada pejabat publik yang brengsek, ya jangan diam saja. Kritik melalui media sosial. Mengkritik pejabat publik itu salah satu tugas kita sebagai rakyat yang dipaksa rajin bayar pajak. 😀
Lalu bagaimana dengan video presiden Jokowi saat acara pembukaan Asian Games? Aku melihatnya sebagai video hiburan. Keren menurutku. Menonton video tersebut tak perlu daya kritis sih menurutku. Cukup nikmati saja. Sempat spontan, “wessss!” kala Jokowi ngetril. Tapi ya, aku yakin banget saat menonton itu, kalau itu tentu dilakukan oleh stuntman. Lha ngapain beresiko banget kalau harus Jokowi sendiri yang melakukan untuk sebuah video menghibur tamu-tamu se-Asia. Lagi pula, masa sih Jokowi mau berpenampilan keren kita larang dan kita cemooh. Lha, kita juga mau kan terlihat keren.
Kalau ada teman yang nyinyir soal stuntman bermotor, ya biar saja. Mungkin menurutnya presiden haram pakai stuntman. Mungkin mereka tak suka Jokowi berlaga dalam video pendek tersebut. Tentu akan beda kalau yang naik motor itu Prabowo, lalu menjemput Jokowi sama-sama ke Gelora Bung Karno. Tapi tak bisa dihindari, pasti yang nggak suka sama Prabowo juga bakalan nyinyir berjamaah. Ya sama sajalah. Mending Biarkan saja mereka yang tak suka, hidup dalam ketidaksukaannya. Jangan dipaksa menjadi suka. Susahlah. Kayak kamu yang nggak suka makan jengkol, tapi dipaksa makan jengkol. Susah, kan?
featured image from tirto.id
Leave a Reply