Seperti 3 Manula di Singapura

Jam 8 pagi pesawat yang kutumpangi mendarat di Changi. Perjalanan ke Singapura kali ini bertiga dengan dua temanku. Kalau jalan sendiri, ke mana saja, biasanya aku akan bergegas menginjakkan kaki ke tujuan. Apapun dan bagaimana pun keadaan di lokasi tujuan, tak membuatku memperlambat perjalanan. Tetapi aku kasihan juga dengan dua teman yang belum tidur semenjak pulang kerja di Jakarta. Mereka butuh tidur di salah satu sudut istirahat yang tersedia di bandar udara Changi.

image

Jam 10 pagi kami melanjutkan perjalanan. Kedua temanku sudah lebih segar. Cukuplah tidur 2 jam mereka beristirahat. Penginapan kelas backpacker yang sudah dipanjer berlokasi di Jalan Lavender. Kami bertiga berdiskusi antara menggunakan Taksi atau MRT. Akhirnya kami sepakat naik MRT. Stasiun pemberhentian pun kami sepakati antara Lavender dengan Boon Keng. Lavender jadi pilihan karena setibanya di sana, kami akan makan siang. Di Lavender banyak sekali tempat makan, mulai dari Stasiun MRT hingga menuju Stasiun Boon Keng. Lho?

Iya. Kami berjalan kaki dari Stasiun Lavender menuju sekitar Stasiun Boon Keng karena penginapan kami, meskipun berada di jalan Lavender, tetapi di ujung sekali. Hanya selemparan tombak olimpiade kalau dari Stasiun Boon Keng.

map mrt

Kenapa memaksa jalan kaki kalau memang sudah tahu lebih jauh dituju dari Lavender? “Membakar lemak!” Begitu alasan yang kubuat-buat. Padahal sih, kedua temanku ini memang senang berjalan laki. Mereka terbiasa dengan gaya hidup sehat. Karena itu ke mana-mana biasanya mereka lebih suka berjalan kaki. Rupanya berjalan kaki lebih enak untuk melihat keadaan sekitar. Sekalian juga membaca plang yang ada di beberapa gedung, di sudut jalan, dan kadang membaca peta atau catatan rute yang ditenteng sepanjang berjalan kaki.

wpid-eyeemfiltered1390823874124.jpg

Berjalan kaki ternyata juga bisa meningkatkan pergaulan sosial. Beberapa kali temanku menjadi amat ramah menyapa beberapa orang yang ditemui di jalan. Lalu yang ditanya biasanya lebih ramah lagi. Mereka berbicara juga dengan bahasa tubuhnya. Tangannya menunjuk ke satu arah. Lalu temanku menutup perkenalan dengan mengucapkan terima kasih. Oh, indahnya pemandangan akrab walau baru sekali berpapasan.

image

Perjalanan mencapai jedanya. Kami mampir di Lavender Food Square. Makan di sini lumayan seru. Sama seperti makan di Food Court. Banyak pilihan makanan dan minuman. Harganya pun tak akan membuat kita jatuh miskin, kecuali bagi mereka yang selalu merasa paling miskin di dunia dan akhirat. Soal rasa? Relatif. Kalau aku sih makan Fried Rice with Egg yang rasanya amat berbeda dengan nasi goreng buatan Bang Bolot langgananku di kampung. Cita rasa dan aroma Nasgor Singapura seharga 3.5 SGD memang pas bagi lidah orang sini. Lidahku sendiri lebih cocok dengan nasgor Bang Bolot yang harganya di bawah 1 SGD (Rp9.400,-)

“Kita cari dulu Eminent Plaza, baru gampang cari Gap Year Hostel!” Pandu temanku usai makan, saat melangkah meninggalkan Lavender Food Square. Kubaca plang biru di sebelahnya. Plang bertulisan Welcome to Eminem Plaza. Itulah pula hebatnya jalan kaki. Kadang yang kita cari sudah ada di depan hidung kita. Berarti sebentar lagi kami akan sampai di hostel. Sudah sangat ingin kurebahkan badan ini.

image

Terus kami susuri jalan Lavender hingga temanku menunjuk ke seberang jalan. “Itu dia Gapyear! Hore!” Bahagianya ia. Tetapi kami harus terus jalan ke ujung jalan di mana lampu pejalan kaki tersedia. Andai kami berada di Jalan Otista atau Mangga Besar, pasti tinggal menyebrang dan lompat pagar pembatas jalan, sudah kelar. Tapi ini bukan di Indonesia. Kami sedang berlatih disiplin di jalan. Karena itu kami tetap berjalan ke ujung Lavender.

Tiba di ujung jalan aku terpana melihat tiang gang bertuliskan Serangoon Road. Wah, aku teringat dengan sebuah film yang pernah kutonton di TV. Serangoon Road adalah serial drama detektif buatan HBO Asia, berlatar Singapura yang penuh gejolak pada 1960-an. Ketika Singapura berada di persimpangan; sebuah masa dimana pemerintahan kolonial Inggris segera berakhir, kemerdekaan yang siap menyongsong, dan negara pulau itu akhirnya bisa membentuk identitasnya sendiri.

Langsung saja kedua temanku kupinta bergaya di tiang gang itu, kupotret bergantian. Aku pun juga kepingin dipotret seperti mereka. Aku menunjuk ke satu arah asal. “Gaya default!” Celoteh temanku.

Siang itu, tepat pukul satu, kami tiba di penginapan yang lumayan cocok buat pejalan kaki. Sebuah kamar seukuran 2×4 m dengan 2 tempat tidur bertingkat. Tak ada ruang tersisa kecuali untuk berdiri ke luar pintu. “Kita seperti special force yg siaga di barak, ya?” Ujar temanku. “Bukan. Aku merasa seperti sedang masuk ke dalam bungkus sepatu.” Jawabku sambil merebahkan tubuh yang mulai terasa ngilu.

-:(Belum Selesai ):-

  • 27/01/2014