Penampilan dan Penilaian

“Dress code-nya apa?” Pertanyaan itu kadang terlontar ketika teman mendapatkan undangan. Begitu pentingkah dress code?

Suatu hari aku mengantar seorang teman yang kepincut dengan mobil yang baru di-launching dalam sebuah pameran otomotif. Ia menyiapkan beberapa gepok uang senilai 30 juta rupiah, yang disimpannya di dalam tas pinggang. Ia pun selalu membawa dompet berisi ATM dari 2 bank, untuk berjaga-jaga andai kekurangan DP. Kami berdua memasuki area pameran kendaraan itu.

Ia menyentuh mobil impiannya itu sambil mengungkapkan keunggulannya, sejauh yang ia pahami. Meskipun kurang paham dengan istilah otomotif, aku mengiyakan semua pernyataan temanku. Ya, sekadar membuatnya bahagia karena sebentar lagi akan punya mobil impian.

Temanku bertanya kepada seorang perempuan cantik yang menjaga stand mobil tersebut. Namun beberapa kali mendekat dan bertanya kepada perempuan cantik yang lainnya, ia selalu ditinggalkan. Para perempuan penjaga stand itu lebih suka mengejar pengunjung lain. Temanku menggelengkan kepalanya, lantas kabur dari arena. Di luar ia ngedumel , “Lha itu SPG sombong banget! Mentang-mentang penampilan kita dusun, nggak dianggap berduit!”

Aku mencoba menenangkan kemarahannya. 

Kupikir, wajar saja kami berdua selalu dihindari oleh SPG. Kebetulan saat itu kami hanya mengenakan kaos oblong dan bersandal jepit. Belum lagi rambut kami yang acak-acakan karena jarang pakai minyak rambut dan tak selalu bawa sisir. Bisa jadi SPG itu mengira kami orang jahat yang hendak melakukan perbuatan tak senonoh kepadanya. Atau boleh jadi kami dianggap orang kampungan yang cuma sekadar lihat-lihat dan nggak mungkin sanggup beli mobil baru. 

Aku jadi teringat dengan cerita temanku di Bekasi. Kuple, panggilannya. Tetangganya baru saja mengambil jatah proyek entah apa. Uangnya ia bawa dalam kantong kresek hitam. Uang itu juga bernilai puluhan juta Rupiah. Tetangganya Kuple mampir di warung dekat rumahnya. Beberapa kali ia pesan teh botol tapi tak dilayani. Maklum penampilannya memang kucel dan bersandal jepit pula. Rupanya ia tak sabar beberapakali disalip oleh pembeli lain yang langsung dilayani empunya warung. Ia kalap. Sekitar 5 teh botol ia ambil dari drop box, ia buka sendiri keropnya dan cuci kaki di depan warung sambil nyolot, “Jangankan teh botol, warung lu juga bisa gue beli! Lu kire gue kagak gableg duit ape? Nih, berape semuanye?

Ternyata penampilan dan berpakaian itu menentukan penilaian orang. Aku pernah mengalami juga ketika mengenakan baju muslim waktu Jum’atan. Sepulang dari masjid, aku langsung menepati janji ke kantor teman. Sampai di sana, beberapa orang kantor memanggilku dengan awalan ustadz. Mungkin dengan mengenakan busana muslim, aku kelihatan lebih santun dan religius. Hm, begitulah kehidupan. Kadang hal-hal yang kita anggap sepele, menjadi amat penting untuk sesekali direnungkan.

foto: @insideerick saat di penutupan IGF 2013 Bali

 

  • 10/02/2014