Nuranikan Pilihan

Pemilihan Umum kali ini kuanggap paling berbeda dibandingkan PEMILU 5 tahun lalu. Keterlibatan netizen terlihat lebih marak. Terutama dalam persaingan antar pendukung Calon Presiden dan Calon Wakil Presiden. Bahkan persaingan tersebut sudah memanas sejak para Capres dan Cawapres belum mendaftarkan diri ke Komisi Pemilihan Umum.

Di satu sisi ini merupakan kabar baik. Semakin banyak rakyat (kalangan netizen) yang peduli akan masa depan negaranya. Semakin banyak masyarakat yang punya harapan tentang pemimpin yang layak dipilih dan pemimpin yang kurang pantas dimenangkan. Keterlibatan dalam memilih pemimpin, boleh jadi akan menumbuhkan kepedulian untuk membantu mengawal pemerintah baru Republik Indonesia.

Namun di sisi lain, persaingan antar pendukung juga menampilkan kengerian tersendiri. Dukungan yang berlebihan membuat beberapa pendukung melakukan kampanye yang menyudutkan lawannya. Beragam status media sosial, artikel blog, dan e-poster berisi cercaan bahkan tidak sedikit yang menjurus ke arah fitnah dan penistaan SARA. Trenyuh!

Gelombang serangan terhadap kubu lawan melalui media sosial boleh jadi lebih banyak dibandingkan dengan kampanye damai dan kreatif. Keterlibatan netizen dan pengguna media sosial dalam menyebarkan “Kampanye Tega” bahkan dapat dibilang menjadi kenyataan yang menyedihkan. Percakapan antar teman di media sosial, yang dulu ramah dan saling menghargai perbedaan pendapat, berubah menjadi saling cela dan fitnah. Tak lagi ada yang mau menerima argumentasi teman, meskipun bisa dibilang benar. Apa pun yang disampaikan orang di luar kubu mereka, pasti salah dan harus dibantai. Hanya satu kebenaran yang patut dikobarkan, yaitu apa pun yang berasal dari kubunya, meskipun kadang hati nuraninya merasakan kejanggalan atas kabar yang dikeluarkan kubunya sendiri.

Semakin banyak orang yang berkoar sambil menutup mata dari kenyataan. Semakin banyak orang mengumbar kabar sambil menutup pikirannya dari logika dan nurani. Bahkan aku melihat perubahan memprihatinkan dari teman-temanku di media sosial. Mereka saling serang. Baku-Cerca. Pemilu kali ini membuat banyak orang jadi terlihat seperti politikus pengumbar omongan kosong, yang biasa kita saksikan di layar TV. Saking ngenesnya, salah seorang temanku mengeluh, “selama PEMILU, makin banyak teman kita yang bermusuhan di media sosial. Ada yang unfriend, unfollow, atau pun blocking. Pemilu yang sebenarnya bertujuan untuk masa depan persatuan bangsa, justru diwarnai dengan merenggangkan keakraban.”

Tetapi aku bersyukur belakangan ini makin banyak orang yang muak terhadap kampanye buta. Mereka pun mencoba mengimbangi sebaran kotor dengan kampanye yang lebih kreatif, damai, dan fun. Perlahan tapi pasti, kampanye kreatif menyebar di linikala. Seperti hujan yang perlahan mengenyahkan sampah yang berserakan di jalan. Banyak contoh kampanye kreatif yang menurutku lebih enak dinikmati dan memberikan pendidikan politik dengan lebih bijaksana. Misalnya poster yang merindukan status temannya sebelum jadi Juru Kampanye.

Kampanye lain yang menurutku juga kreatif dan tak menyudutkan Capres dan Cawapres adalah iklan #CariYangPas. Sebuah iklan video yang kreatif.

Memilih, sejatinya harus sesuai dengan selera dan harapan kita. Dan sebagai pemilih kita harus menghormati pilihan orang lain yang berbeda. Kita tak pantas memaksakan orang bernomor sepatu 42 untuk memakai sepatu ukuran 38 yang kita banggakan. Itu akan menyiksa seperti kita sendiri yang tak mau tersiksa dengan pilihan yag tak sesuai dengan hati nurani sendiri. Sepantasnya kita menghargai perbedaan pilihan ketimbang mereka apatis dan tak peduli dengan kepemimpinan negeri ini. Ketimbang mereka hanyut dalam utopia Golput. Sepantasnya kita menghormati mereka karena mau terlibat sejak awal dan tak bersikap anti terhadap PEMILU. Terutama kaum muda, pilihlah yang pas. Itu yang paling damai dan masuk akal!

  • 12/06/2014