Mengubah Takdir

“Keberhasilan adalah kepastian yang bisa kita dapatkan jika berani mengubah takdir” 

Mahmud Abbas

Bertahun-tahun Aef mengandalkan sumber penghidupannya dengan berceramah. Menyampaikan petuah agama kepada masyarakat di sekitarnya dengan bayaran beberapa ribu Rupiah hanya untuk makan dan membiayai kuliah. “Apakah hidupku harus berjalan terus seperti ini?” Pertanyaan kepada diri sendiri itu selalu hadir hampir setiap malam kala ia rebahan di kamar tidurnya, di sebelah kurung batang.

Setiap pertanyaan itu terlintas di kepalanya, ia selalu merenungkan kembali apakah sanggup meninggalkan perannya sebagai da’i. Tak bisa ia pungkiri rasa ragu yang menyelinap di hati tatkala menerima sejumlah uang dalam amplop sebagai bayaran atas ceramah dan pengajian yang dipimpinnya. Jika hal itu ia pertahankan, sanggupkah ia meneguhkan diri atas kritiknya sendiri; menjadikan dakwah sebagai profesi.

Aef teringat pesan yang pernah disampaikan Emak di kampung, saat ia masih kecil, masih sekolah setingkat SD. Emak pernah bilang, kalau kita menerima uang yang halal, maka tak ada sedikitpun beban yang terasa di hati. Berbeda dengan uang yang kehalalannya masih meragukan, pasti akan muncul perasaan tak enak, berat, dan boleh jadi rasa malu yang menggelayuti hati. Dulu, ketika kecil Aef tak pernah berpikir akan merasakan apa yang pernah Emak katakan. Tak pernah terbayangkan sebelumnya kalau ia akan mengalami apa yang dikatakan Emak, merasa malu tapi butuh jika menerima amplop setelah ceramah/mengaji. 

Tetapi Aef tak berani menilai uang yang ia terima setiap habis ceramah atau isi pengajian termasuk dalam kategori haram. Bukan soal itu yang ia risaukan. Dua hal yang menggelayuti pikiran Aef saat menerima amplop; pertama adalah rasa malu yang tak habis-habis setiap kejadian tersebut berulang. Ia berpikir mungkin rasa malu itu akan lenyap seiring dengan terbiasanya ia menerima bayaran usai ceramah. Tetapi rupanya rasa itu melekat kuat di hatinya.

Bukan tersebab kemiskinan yang membuatnya ingin meninggalkan dunia dakwah. Sebab kemiskinan sudah dijalaninya sepanjang ia hidup sebagai anak yatim. Hal kedua yang menggelayuti pikirannya adalah tentang masa depannya sendiri. Ia tak benar-benar yakin kalau penghasilan sebagai da’i atau penceramah dapat menjamin kebutuhan hidupnya. Sekarang saja, saat belum berkeluarga ia sering kekurangan uang untuk kebutuhan kuliah dan kebutuhan sehari-hari. Seperti apa nanti jika ia punya anak dan istri?

“Ini harus berakhir!” seringkali ia menegaskan tekad yang ditujukan untuk dirinya sendiri. Keraguan tersebut pun diungkapkan kepada Emaknya. Sudah dapat dipastikan pihak keluarga tak setuju apabila Aef meninggalkan perannya sebagai Da’i.

“Sejak kecil kamu itu sudah dijuluki Macan Mimbar, Aef!” Pesan Emak yang amat menyayangkan apabila Aef tak lagi menjadi Da’i. Dalam kultur masyarakat PERSIS, menjadi Da’i adalah sebuah pencapaian tertinggi bagi seorang lelaki. Tak ada yang patut dibanggakan oleh keluarga selain melihat anaknya berpidato di atas mimbar, menyampaikan ayat-ayat Allah dan hadits Nabi Muhammad SAW. Tak ada yang bisa mengangkat derajat keluarga selain melakukan Amar Ma’ruf Nahi Munkar dengan berdakwah.

Kebanggaan orang tua terlihat dari raut wajahnya saat menyaksikan anaknya sedang berpidato pada acara-acara besar di sekolah. Kebanggaan lebih memuncak jika para hadirin yang sama-sama menyaksikan aksi pidato anaknya itu menunjukkan antusias dan tepuk tangan yang menyemangatkan. Kebanggan seperti itu pula yang menghibur Emak dan keluarga Aef lainnya, saat Aef diakui kehandalannya dalam berpidato. Bahkan ia sampai dijuluki Macan Mimbar saat baru beranjak remaja.

Dalam kegalauan, biasanya Aef hanyut dalam lesatan ingatan masa lalu. Selalu terbayang cita-cita yang pernah ia ucapkan di depan ayahnya. “Ketika besar nanti aku mau jualan Tutut saja.” Tutut adalah sejenis keong emas yang hidup di sawah. Waktu kecil Aef sering mencari Tutut bersama teman-temannya untuk direbus di kaleng susu bekas dan disantap bersama. Tak ada kebiasaan masa kecil bersama teman yang ia ingat selain menikmati hal itu. Wajar apabila Aef mempunyai cita-cita berjualan Tutut, yang saat itu belum pernah ada satu pun orang yang berjualan Tutut Rebus seperti sekarang ini.

Ingatan tentang Tutut lenyap. Berganti lagi dengan bayangan kecaman dari pihak keluarga, para ustadz yang membimbingnya, dan juga masyarakat yang sering mengikuti pengajiannya kerap meragukan rencananya untuk meninggalkan tugasnya sebagai Da’i.

“Kalau mantan preman itu pantas, tapi mantan ustadz?” pertanyaan yang sering dilontarkan oleh orang-orang selingkungannya itu selalu menghantuinya. Jika sudah begitu, keraguan mulai menguasai pikiran Aef. Apakah ia harus melanjutkan tugasnya sebagai Da’i atau meninggalkan lingkungan ini lalu berjualan apa saja?

Aef tak mau bersikap munafik. Ia tak pernah menampik pemberian pengurus pengajian yang mengundangnya berceramah. Ia memang membutuhkan uang untuk membiayai hidupnya sendiri. Namun hampir setiap menyambut jabat tangan yang di dalamnya tergenggam sebuah amplop, rasa malu pun ia rasakan. Secepatnya ia menerima dan memasukkan amplop itu ke dalam lipatan kitab yang dibawanya, atau memasukkanya ke dalam kantong celananya. Perasaan malu yang selalu berulang itu pula yang menguatkan hatinya untuk meninggalkan Bandung.

Selalu ada malam terakhir untuk mengambil keputusan. Aef menguatkan tekad untuk meninggalkan sebuah kamar kecil tempat penyimpanan kurung batang Masjid. Ruang kecil yang menjadi sangkarnya selama ini. Ia berbulat tekad untuk pergi. Satu kodi Jaket Kulit “apkiran” produksi Haji Jojon, ia jadikan bekal untuk mengubah nasib di Jakarta.

[bersambung] —– Kisah Sebelumnya: Radio Butut Pengganjal Perut

  • 07/12/2012