Menakar Hubungan Blogger – Agency

Seperti yang kita maklumi, kegiatan blogging dilengkapi dengan tren blog review. Satu persatu blogger mulai tergiur dengan bayaran dari penitip iklan. Blogger yang kumaksud di sini tak bersifat umum, tetapi lebih khusus untuk blogger yang biasa menerima pesanan tulisan. Selain memasang adsense dan iklan banner pada blognya, blogger juga menyukai blog review, menulis sesuai dengan pesanan pembayar. Biasanya job review kelihatan lebih besar nominalnya dibandingkan iklan banner.

Makin tumbuhnya tren beriklan lewat blogger, tentu memengaruhi pertumbuhan agency. Tentu saja agency memburu blogger untuk diajak bekerja sama. Persaingan antar agency pun pada satu sisi memberikan keuntungan bagi blogger. Boleh jadi seorang blogger mendapatkan tawaran dari 3 agency sekaligus. Ada yang brief-nya sejenis, misalnya sama-sama dari 3 perusahaan telko yang tentu saling bersaing, ada pula yang beragam, mulai dari agency travel, kuliner, fashion, kosmetika, olah raga, bahkan agency politik.

Apakah kerja sama antara blogger dengan agency berjalan mulus? Tentu saja tidak. Dari beberapa kasus yang kutemukan dalam persliweranku di jalur blogging. Ada teman-teman blogger yang curhat langsung kepadaku perkara agency. Bahkan beberapa kali aku menemukan curhatan tersebut di media sosial seperti Twitter dan Facebook.

Apakah pantas blogger mengumbar kekecewaannya di media sosial? Itu hal lain yang tak akan kubahas sekarang. Perlu waktu khusus untuk mendiskusikan perkara ini.

Yang akan kusampaikan hari ini adalah kesimpulan obrolanku dengan teman-teman blogger yang sering menerima blog review melalui agency yang dikontrak brand. Mereka memiliki sikap yang berbeda terhadap pesanan tulisan (job).

3 Sikap Blogger

  1. Blogger tetap mau menerima pesanan dari agency tetapi lebih menyukai mendapatkan pesanan (job) langsung dari klien tanpa perantaraan agency. Ini sejalin dengan kebiasaan beberapa brand yang lebih suka berhubungan langsung dengan blogger, tanpa perantaraan agency. Candaan di antara mereka biasanya, “jangan ada ahensi di antara kita”. Lebay, sih. Tapi itu yang kutemukan. Itu nyata, kawan!
  2. Blogger kapok menerima pesanan dari agency. Mereka hanya mau menerima pesanan langsung dari brand. Sikap ini lebih tegas dibandingkan sikap blogger pertama. Namun ketegasan sikap ini tentunya dipicu oleh beberapa catatan yang akan kupaparkan di bawah.
  3. Sikap ketiga ini lebih spesifik. Blogger hanya mau menerima pesanan yang sesuai dengan tema blognya. Mereka menolak menulis tentang suatu topik/produk kecuali apabila topik/produk tersebut masih klop dengan tema blog mereka. Misalnya blogger yang doyan kelayapan (Travel Blogger). Mereka akan menolak dengan baik dan santun apabila diminta menulis tentang tokoh politik tertentu, atau tentang sabun mandi yang bukan sekadar bisa membersihkan daki, tapi juga membersihkan kenangan. Misalnya lagi, blogger kuliner yang tak mungkin menulis tentang unboxing smartphone terbaru.

Catatan Blogger untuk Agency

Sikap blogger di atas adalah hasil dari obrolan yang menjadi catatan khusus mereka untuk agency. Terutama pada kelompok blogger nomor dua, yang diwakili oleh beberapa blogger yang sering telat dibayar oleh agency. Berikut catatan dan harapan mereka terhadap Agency di tahun 2015.

  1. Blogger menyukai agency yang cepat dan tepat membayar. Misalnya selesai menulis postingan atau paket twit, mereka langsung dibayar paling tidak dalam 2×24 jam setelah pekerjaan selesai.
  2. Blogger tidak menyukai agency yang menentukan waktu pembayaran lebih dari 7 hari setelah pekerjaan selesai. Waktu 7 hari dianggap cukup untuk menyelesaikan urusan finansial yang kerap dijadikan alasan agency untuk menunda pembayaran. Apalagi jika agency beralasan menunda pembayaran karena mereka sedang liburan lebaran, atau natal dan tahun baru, seperti yang ditwitkan oleh teman blogger beberapa hari yang lalu.
  3. Blogger tidak mempermasalahkan pesanan agency/brand dalam bentuk paket, misalnya blogreview plus twit, asalkan ada ukuran yang pasti, misalnya 1 postingan 1-7 twit, bukan dengan ketentuan waktu, misalnya 1 postingan plus twit selama 1-2 jam, sebab tak ada ukuran pasti untuk berapa banyak twit.
  4. Sebagian besar blogger tidak menyukai agency yang membebankan pekerjaan membuat report pekerjaan, misalnya pengukuran statistik twitter dan kunjungan blog. Mestinya agency menguasai tools untuk pengukuran kampanye sendiri. Itu bukan pekerjaan buzzer, melainkan pekerjaan agency. Jika hanya skrinsut sebagai bukti twit atau postingan blog, masih wajar. Hanya sedikit blogger yang tak mempermasalahkan pembuatan laporan pekerjaan.
  5. Blogger menginginkan adanya ketentuan dalam perjanjian kerja sama dengan agency/brand bahwa mereka tidak bertanggung jawab apabila ada tuntutan konsumen atas apa yang mereka tulis jika tidak sesuai dengan kualitas yang ada pada produk yang dikeluarkan brand. Kekhawatiran blogger ini biasanya muncul apabila blogger mendapatkan pesanan dari perusahaan telko terkait kualitas sinyal dan kecepatan internet. Misal lainnya adalah dalam produk telekomunikasi seperti smartphone, modem, dan sebagainya.
  6. Blogger pun mengusulkan agar dibuat kesepakatan telat bayar maupun telat menyelesaikan pekerjaan. Jika agency telat membayar berdasarkan kesepakatan, maka akan dikenakan denda yang besarannya bisa disepakati di awal. Begitupun jika blogger tak menyelesaikan pekerjaan sesuai target yang disepakati, akan mendapatkan denda, baik berupa potongan atau pembatalan kontrak kerja.
  7. Dari semua pernyataan di atas, semua blogger yang terlibat dalam obrolan sepakat tidak menyukai agency yang menunda pembayaran bahkan sampai dua job sekaligus. Sebagian di antara blogger yang kesal karena perkara ini terpicu untuk menyebarkannya di media sosial, sementara sebagian lainnya menunggu tagihan yang tak pernah kunjung dibayar.

Begitulah obrolan bersama dengan teman-teman blogger yang biasa menerima pekerjaan dari agency/brand. Mereka berharap tahun 2015 mendapatkan perlakukan yang lebih baik dari agency/brand.

Kamu ada saran yang lebih baik?

  • 08/01/2015