Mbah Mrono

Mbah Mrono berdiri di sudut masjid, menghitung uang sedekah dari jamaah. raut puas kembali dimurungkan setiap ada org lewat.

Sebenarnya tak ada yang tahu kenapa ia dipanggil mbah. Usianya belum sampai 60 tahun. Cucu pun tak punya. Tak ada yang tahu pula dimana sanak keluarganya. Tetapi, mungkin karena rambutnya tampak beruban, dan saat berbicara kerap menyatakan dirinya lebih tua dari siapapun yang diajaknya berbicara, jadilah ia dipanggil mbah. Tapi itu pun masih “katanya”.

Aku sering memerhatikan tingkah polah Mbah Mrono. Bagiku ia sangat unik. Ia pandai sekali memainkan ekspresi sedih secara tiba-tiba. Baru saja bergembira, dalam hitungan detik bisa berubah menjadi murung, marah, ataupun melengos cemberut.

Misalnya saja saat kami nonton bola bareng di pos ronda. Sebelumnya ia tertawa dan bergembira sekali ketika Ronaldo berhasil mencetak gol bagi Portugal dalam event EURO 2012. Namun kebahagiaanya itu mendadak surut. Raut wajahnya kembali murung saat datang seorang tetangga sambil mengunyah ayam goreng bertepung. Bibirnya menjebleh, lalu bilang, “Kalo makan enak jangan suka pamer. apalagi di depan mbah, yang nggak pernah sekalipun makan ayam kentaki kayak gitu!”

Mbah Mrono merasa hidupnya paling nelangsa. Ia selalu mengiba belas kasih. tak ada yg boleh miskin melebihi kemiskinannya, kecuali mau dicap pemalas!

Pernah suatu hari, selepas Jum’atan, ada seorang pengemis yang menerima sedekah dari jamaah masjid. Sontak Mbah Mrono mendorong pengemis itu, “Masih punya tenaga, masih kuat koq ngemis! Pergi sana, jangan ngemis di sini!” Sambil menatap tajam pengemis yang berlari meninggalkannya, ia berpesan kepada jamaah, “Buat apa kalian memberikan sedekah kepada orang yg tak jelas asal-usulnya. Bisa jadi orang tadi cuma pura-pura ngemis, padahal ia punya rumah mewah di kampungnya. Jangan salah kasih sedekah! berikan kepada orang
yang jelas-jelas miskin dan hidupnya di lingkungan kita sendiri! Di sini, cuma aku yg paling miskin, melarat!”

Setiap bicara di depan jamaah masjid, Mbah Mrono kerap menyisipkan kisah kemiskinannya, memancing empati, agar mendapatkan belas kasih.

Mbah Mrono memang sering memberikan wejangan di masjid. Ia mengaku pernah pesantren di Gunung Karang. Memang jika sedang memberikan wejangan, ia terlihat menguasai bahasa Arab, hafal ayat-ayat Allah dan hadits Rasulullah, SAW., dan pandai bercerita tentang sejarah. Karena itulah pengurus Masjid memosisikannya sebagai penceramah dan imam saat shalat berjama’ah.

Mbah Mrono sering marah-marah jika ada tetangga yg me-renovasi rumah. ia merasa tak ada yg peduli dengan tempat tinggalnya. tak jarang pada kondisi seperti itu. Biasanya ia ngumbar cerca di pos ronda, “Memang, orang kaya tak punya empati! Semaunya memewahkan rumah, tapi sama sekali tak peduli dengan gubug pencengku. Percuma saja kaya tapi ndak berkah!”

Mbah Mrono juga sering cemberut, krn ia merasa lebih miskin dan lebih pantas

Posted from WordPress for Android on the Road, Jagorawi Freeway

  • 21/07/2012