Koalisi Para Penjilat

 

“Ketika di atas, banyak teman yang mengenal kita. Ketika di bawah, kitalah yang mengenal siapa teman yang sebenarnya.”

~ Idang Rasjidi, Maestro Jazz Indonesia

Kutipan pernyataan di atas dilontarkan Idang Rasjidi, dalam acara syukuran ulang tahunnya yang ke-59 tahun. Sebuah perhelatan acara yang sederhana namun tetap memikat. Gerimis0 Kota Hujan menyertai acara yang dibuka dengan 2 persembahan musik jazz oleh Three Song, dilanjutkan dengan pembacaan puisi oleh teman-teman Malam Puisi Bogor, Teater yang mengisahkan Idang Rasjidi kecil oleh Teater Jamban, performance dari Idang Rasjidi Syndicate, dan obrolan penuh canda namun mendalam untuk direnungkan.

Idang Rasjidi kerap mengingat siapa saja orang-orang yang berjasa dalam hidupnya. Ia menyebut beberapa nama, misalnya Mus Mualim, Buya Hamka, dan Dodi, sahabat yang tak bisa melafalkan huruf “R” dan “L” dengan baik. Meskipun Dodi sering menjadi bahan penghibur karena pelafalan kedua huruf tadi menjadi “N”, misalnya “Gue bilang juga ape, rasain lu dimarahin sama Buya!” menjadi “Gue binang juga ape, nasain nu dimanahin sama Buya!” tetapi banyak kisah inspiratif Dodi yang memengaruhi Idang dan kami yang mendengarkannya. Siapa pun orang. Sesepele apa pun, selalu memiliki nilai lebih yang belum tentu dimiliki orang lain.

Quote Bang Idang yang aku cuplik di atas paling melekat di kepalaku. Kita bisa mencerna berdasarkan pengalaman kita sendiri. Teman pada saat kita bernama, saat kita berada pada posisi yang baik biasanya banyak berdatangan. Sebaliknya, saat kita dirundung masalah, terperosok dalam putaran roda yang melindas, hanya tersisa sedikit saja. Yang sedikit itulah teman yang bisa kita sebut sahabat. Dalam suka maupun duka mereka tetap menemani kita.

Begitupun dalam konteks politik Indonesia. Kita dapat dengan mudah mencari mana teman yang setia dan mana teman yang sekadar penjilat dan oportunis. Memang dalam politik dikenal bahwa, tak ada pertemanan abadi, kecuali kepentingan. Dari situlah kita bisa melihat siapa yang dipercaya dan siapa yang patut dicurigai.

Pikiranku melayang membayangkan orang-orang dekat Soeharto, presiden kedua sekaligus terlama yang pernah berkuasa di Republik Indonesia. Saat berkuasa banyak yang mendekatkan diri padanya. Ketika dilengserkan hingga dihinakan sebagai pendosa secara sosial politik, mereka yang pernah hidup dan menjilat kekuasaannya banyak yang mencari selamat sendiri. Kita lihat juga pada sosok Habibie, Gus Dur, Megawati, dan SBY. Ketika memiliki kekuatan politik, banyak yang mendekatkan diri kepada para tokoh tersebut. Namun ketika posisi  dan pamor sang tokoh terancam meluruh, mereka yang menjilat akan mencari tokoh lain yang lebih berpeluang untuk mengamankan posisinya. Begitulah politik, di mana kepentingan dan pengkhianatan melekat pada setiap orang yang menceburkan diri di dalamnya.

Dalam konteks organisasi politik kita bisa menyebutnya dengan koalisi. Sejak lengsernya Soeharto, koalisi menjadi kata yang sering diumbar media. Iseng kucari kata “KOALISI” melalui Google. Sekitar 5.360.000 tautan tentang kata tersebut bisa kita pungut dalam hasil pencarian. Kata tersebut makin populer kala Indonesia memasuki Pemilihan Umum (PEMILU). Yang membuat miris dalam hal ini adalah, koalisi yang kita pahami tak lebih dari sekadar mengalahkan lawan politik untuk berbagi kue kekuasaan. Kabinet dipotong-potong sebagai jatah untuk partai politik yang bersedia melacurkan suara konstituennya. Bila mana konstituen sebuah partai politik bingung kenapa elit politiknya memutuskan berkoalisi dengan partai politik yang sebelumnya bermusuhan dan sering diserang dengan black campaign, berbagai alasan diramu sedemikian rupa agar konstituen merasa logis. Seperti itulah pendidikan politik yang diberikan partai politik terhadap konstituennya sendiri.

Yang penting bagi mereka adalah kebagian “kue kekuasaan” agar bisa terus menghidupkan dapur partai. Dengan kekuasaan –misalnya menjadi menteri sebuah departemen– partai sudah dipastikan akan menguasai proyek selama 5 tahun ke depan. Untuk konstituen? Tenang saja, proyek bantuan yang biasanya disalurkan melalui departemen sudah tentu akan diprioritaskan bagi mereka. Tak peduli di sebuah desa terpencil sebenarnya membutuhkan bantuan, selama bukan konstituen partai berkuasa, jangan harap bisa mendapatkan bahkan sedikit saja.

Lalu bagaimana dengan nasib rakyat yang selama ini tak pernah menjadi kader/simpatisan partai? Jatah mereka sudah ada. Cukup diberikan saat kampanye saja. Setelah PEMILU selesai, partai politik tak akan mau ambil pusing kecuali bencana alam melanda mereka. Sebab saat bencana alam itulah partai politik dapat memanfaatkannya sebagai menebar citra. Di antara puing-puing runtuh, di antara mayat-mayat bergelimpangan, bendera partai politik lebih gagah ketimbang bendera merah-putih.

Begitulah realitas politik kita. Kekuasaan dibangun atas dasar kepentingan partai saja. Bahkan kita bisa membuktikan sendiri di sebuah kantor pemerintahan. Misalnya di kantin sebuah kantor kementerian. Aku pernah menyimak perbincangan PNS tentang perubahan nasib mereka jika menterinya berganti misalnya dari partai Anjing menjadi partai Babi. Para PNS kelas bawah saja bisa menilai bahwa setiap pergantian menteri, dari partai politik tertentu, akan mengubah pola keseharian mereka. Mereka yang cari aman, sudah tentu harus adaptif, Siap mengubah kesetiaan dalam sekejap. Yang tadinya sering memperlihatkan diri sebagai pendukung partai Anjing, harus belajar membiasakan diri dengan wajah partai Babi. Semua sangat tergantung dari partai mana menterinya berasal.

Seperti itulah pola pertemanan berbasis kepentingan. Mereka yang terdidik secara sadar ataupun tidak dalam pola tersebut akan siap berubah sikap dan kesetiaan. Yang penting bagi mereka adalah mendapatkan posisi aman dan kebagian. Partai politik dan para tokohnya amat berperan dalam membentuk kepribadian yang sarat dengan kepentingan. Pribadi yang gampang setia dan gampang pula berkhianat. Semua itu mungkin terjadi selama koalisi dalam pemerintahan masih berlandaskan satu ideologi yang sama: Ideologi Para Penjilat.

kartun: yusuf di milligazette

  • 28/04/2014