Kita Cuma Rakyat Biasa

Boleh jadi PEMILU tahap Pemilihan Presiden 2014 ini merupakan PEMILU yang paling keras persaingannya. Tak adanya calon lain selain Prabowo dan Jokowi membuat perseteruan pendukung terkesan fanatik. Saking semangatnya, sampai seolah-olah apa yang mereka pilih adalah kebenaran satu-satunya sedangkan yang dipilih orang lain adalah satu-satunya keburukan. Mengenaskan tapi inilah potret politik kita.

Perseteruan di media sosial tak perlu lagi kuulas. Sudah cukup banyak teman-temanku menuliskan perseteruan antar teman jejaring sosial hanya karena berbeda pilihan calon Presiden. Aku hanya akan menulis tentang apa kenapa aku ikut memilih dan siapa yang akhirnya kupilih.

Aku mulai dari posisiku sebagai rakyat biasa. Koq biasa? Iya, aku –atau bolehlah kusebut kita– ini cuma rakyat biasa yang biasa didorong, dirayu, maupun diancam agar ikut memilih saat PEMILU. Ya, bahkan kita pun biasa diancam agar mengikuti PEMILU dengan baik. Sebodoh-bodohnya ancaman adalah Fatwa MUI yang pernah kusinggung dalam tulisanku tentang GOLPUT. Mereka yang mendapatkan keuntungan dari penyelenggaraan PEMILU dan Pemerintahan baru sangat berharap rakyat memilih. Tanpa suara kita, mereka terancam tak bisa mengincar kekuasaan dan proyek-proyek yang bejibun di dalamnya.

Sebagai rakyat biasa, kita pun biasa ditipu setiap 5 tahun sekali. Kita mengelu-elukan Caleg dengan berlapis-lapis logika bahkan dalil agama, namun ketika mereka terbukti korupsi, mulut kita cuma ternganga. Bahkan ada juga di antara kita yang tetap membela anggota dewan maupun pejabat publik yang ditangkap KPK dengan beragam argumen bahwa kasus mereka dipolitisasi lawan politik, atau mereka hanyalah korban fitnah, korban pengkhianatan, korban jebakan, dan yang paling mentok dianggap Konspirasi Zionis. Bebal!

Sebagai rakyat biasa, kita pun terbiasa dijejali dengan kabar bohong. Dalam Pemilihan Presiden kali ini saja, Anda bisa dengan mudah menemukan brosur, selebaran, e-flyer, banner, atau apa pun yang isinya fitnah atas calon presiden kita sendiri. Bahkan tanpa berniat mencari pun, kita bisa saja tiba-tiba menerima berbagai propaganda politik itu. Misalnya di Facebook atau Twitter. Bahkan beberapa kali ada teman yang menemukan selebaran tentang calon presiden tertentu di teras rumahnya. Entah siapa yang menyebar, itu menjadi tak penting lagi. Sebab setiap kubu terbiasa saling menuding tentang siapa yang memproduksi fitnah itu. Yang menjadi korban pun dianggap sebagai pembuatnya.

Lihat saja di lingkungan rumah kita sendiri. Lihat di tetangga kita sendiri, mereka yang mendapatkan kabar untuk tidak memilih calon presiden tertentu karena calon tersebut dibilang orang tak beragama, penipu, tak amanah, dan segala macam sebutan berbalut agama dan SARA. Mengenaskan!

Sebagai rakyat biasa, kita pun terbiasa menikmati kabar buruk tentang mereka yang berbeda pilihan. Menanggapi kebiasaan itu, temanku –CR– menuliskannya dalam status Facebook.

Secara naluriah manusia memang cenderung merasa senang saat menyaksikan orang atau kelompok yang diposisikan sebagai lawannya mengalami kesialan. Itulah yang dipertontonkan dalam debat cawapres semalam dan debat-debat sebelumnya. Karenanya saya tidak menempatkan debat-debat tersebut sebagai faktor penting dalam menentukan preferensi politik saya menjelang pilpres. Di samping kemampuan artikulasi masing-masing pasangan yang sangat buruk dalam menyampaikan visi dan misinya, jangan lupa bahwa acara debat tersebut hanyalah “panggung” bagi kedua pasangan. Jadi, apa yang ditampilkan di atasnya tidak harus mencerminkan yang sesungguhnya. Bodoh sekali kalau kita mempersepsikan apa yang berlangsung dalam debat-debat tersebut sebagai representasi sesungguhnya dari masing-masing pasangan dalam hal memimpin bangsa ini.

Aku setuju dengan tanggapan dan sikap yang kucuplik di atas. Kita terbiasa dibuat kagum dengan retorika dan orasi. Bahkan kita ikut-ikutan bertepuk tangan ketika jagoan kita usai berkoar. Namun ketika kita bertepuk sebelah tangan saat jagoan kita itu lupa dengan apa yang mereka kampanyekan, kita pun terbiasa memakluminya.

Sebagai rakyat biasa, kita pun terbiasa mencerca teman yang berbeda pilihan. Para pendukung Prabowo mencerca pendukung Jokowi. Begitu pun sebaliknya. Padahal terpilihnya Prabowo dan Jokowi sebagai presiden Republik Indonesia, tak benar-benar menjamin perubahan nasib kita. Yang terlibat “cakar-cakaran” pun akan kembali pada takdirnya sebagai rakyat biasa, yang kembali mencari rezeki dengan susah payah. Usai Prabowo/Jokowi menjadi Presiden Republik Indonesia, kita akan kembali melihat hanya mereka yang hidup dalam lingkaran kekuasaan sajalah yang akan menikmati kelezatan buah PEMILU.

Lalu siapa yang aku pilih di antara Prabowo dan Jokowi? Sebagai rakyat biasa pilihanku yang sebenarnya akan kuberikan di bilik suara pada 9 Juli 2014 nanti. Yang jelas, aku berangkat dari rakyat biasa yang apatis terhadap kesungguhan pemerintah selama ini. Semakin mendekati hari pemilihan, aku tak sekadar memperhatikan visi, misi, dan program kedua calon presiden. Perilaku para pendukung baik di media sosial maupun di kampung-kampung yang kusinggahi pun kujadikan preferensi untuk menentukan siapa yang harus kupilih. Yang pasti, baik di kubu Prabowo maupun Jokowi, sama-sama ada orang-orang yang tak kusukai dan kucurigai. Tetapi dari 2 pilihan, aku memang harus memilih. Jika pilihanku berbeda dengan pilihanmu, silakan saja dikomentari. Tetapi ingat, semakin banyak komentar buruk kau koarkan, semakin banyak pula orang-orang berakal sehat yang tak menyukai keburukan dan akhirnya beralih memilih pihak yang sering dipojokkan. Berhati-hatilah, kawan dalam menyayangi calon presidenmu! Jangan sampai sikap burukmu malah mengalahkan perolehan suara jagoanmu. Bersikap biasa sajalah, sebab kita semua rakyat biasa.

pilihanku

  • 29/06/2014