Ketemu Mantan

Pertemuan pertama nggak sengaja, ketika di Jogjakarta awal bulan ini. Ketika bertemu saat itu tak pernah berpikir untuk bertemu lagi. Tetapi rupanya kehidupan kadang berjalan di luar rencana. Dalam persliweranku di Jakarta kemarin, akhirnya kami sepakat bertemu kembali di sebuah warung kopi di sudut Jakarta, di mana kenangan pernah terjalin.

Jabat tangan dan tatapan hangat kurasakan saat ia baru saja tiba ke meja yang sudah kusediakan minuman dan cemilan yang kusiapkan. “Tak ada kopi sianida, kan?” candanya mengawali perbincangan. Dari situ helai demi helai kenangan terceritakan kembali. Kenangan yang telah terlewati puluhan tahun lalu. Kami larut dalam perbincangan tentang kenangan, tentang kisah yang pernah terjadi, tentang si anu, si itu, yang pernah menjadi bagian dari kisah yang kami ceritakan masing-masing. Ya, malam ini menjadi malam yang penuh dengan pengulangan kembali masa lalu yang akhirnya memutuskan kami untuk meninggalkan cerita itu.

Lalu apa yang akan kami lakukan selanjutnya?

Kami akan saling mendukung pekerjaan yang saat ini kami kerjakan masing-masing. Apa yang ia lakukan sebenarnya ada kemiripan dengan yang aku lakukan, hanya berbeda di beberapa sisi saja. Tapi intinya sama, kami sama-sama ingin menjalin kembali pertemanan dengan para mantan yang lainnya. Untuk apa?

Sekadar menjalin silaturahmi dan saling menjaga agar tak lagi terjebak dalam pekerjaan bodoh “menjual ayat-ayat Tuhan demi kekuasaan berbasis agama yang tak pernah benar-benar serius diperjuangkan”. Perjuangan berdalih agama di negeri ini hanya terbatas pada perjuangan jargon provokatif. Perjuangan yang hanya menggetarkan hati di ruang-ruang demontrasi, di halaman media sosial, dan di pertemuan terbatas.  Setelah itu, getaran hati itu menguap pada hari-hari penuh penantian. Penantian terhadap apa? Penantian terhadap siapa? Penantian terhadap rencana para pemimpin ummat itu untuk menegakkan Islam sebagai khilafah atau sebagai dasar negara atau yang seperti itulah. 

Dari perjuangan ini mengandalkan bedil hingga saat ini mengandalkan smartphone, perjuangan berdalih agama di negeri ini menjadi bisnis elite gerakan untuk sekadar mendapatkan sumber penghidupan saja. Mereka makin populer, makin mendapatkan berbagai sumber kehidupan sementara di level jamaah lapuk dalam penantian. Bagi yang sabar, boleh jadi mereka akan tetap menantikan hari-hari yang dijanjikan, sebuah kemenangan agamanya. Bagi yang tak sabar, hanya dua yang biasanya dilakukan; Pertama adalah diam saja. Diam memendam kegelisahan. Yang kedua adalah kemungkinan meloncat ke gerakan sejenis yang terkesan lebih garang dan lebih berani. Bahkan bukan tidak mungkin orang yang seperti ini akan rela melakukan perbuatan nekad, seperti melakukan penyerangan individual, seperti bom bunuh diri. Sebuah inisiatif pribadi yang dipicu karena keputusasaan dalam penantian “mimpi” yang terlalu lama.

Begitulah.

  • 27/10/2016