Jangan Ada Kentongan Tiang Listrik Lagi

Rencana menonton film Cahaya dari Timur: Beta Maluku bukan untuk menikmati keindahan panorama alam Maluku. Bukan, bukan itu. Sebab kalau itu menjadi tujuanku, hanya akan kurasakan kekecewaan lantaran aku belum juga kesampaian menjejakkan kaki di sana. Maluku, keindahan yang disajikan dalam gambar-gambar film ini, sudah sering kulihat dari foto yang kerap dipamerkan @almascatie di halaman Facebook atau Twitter-nya. Sebuah keindahan Indonesia yang patut dinikmati suatu ketika.

statuscdt2

Jadi niatku menonton karena apa?

Film tentang bola? Benar. Cahaya dari Timur adalah film tentang tim sepakbola yang dibangun sejak bocah-bocah ingusan Maluku dicekam ketakutan apabila tiang listrik dipukuli sebagai tanda kerusuhan terjadi dan terjadi lagi. Film ini berangkat dari situasi tahun 2000 ketika Ambon hanya kita kenal sebagai wilayah konflik, wilayah penuh dengan ancaman perang berkabar SARA. Tidak seperti film sepak bola Indonesia lainnya yang pernah kutonton, film besutan sutradara Angga Sasongko ini menyampaikan pesan lebih dari sekadar kemenangan atau kekalahan. Film yang menggunakan Bahasa Ambon ini menyuarakan kegelisahan rakyat kecil tentang konflik SARA, yang direpresentasikan oleh sosok Sani Tawainela, tukang ojeg di Desa Tulehu, Maluku.

Permulaan film ini cukup menegangkan untuk ditonton anak-anak. Di mana Sani terjebak di tengah perang antar warga saat ia ingin membeli terigu titipan Mama Alvin, pemilik kedai kopi di Tulehu. Ia pun gagal menyelamatkan jiwa seorang bocah yang ia temui dalam persliweran kekacauan itu. Dari konflik ke konflik, Sani menyaksikan sekelompok bocah Tulehu yang terancam masa depannya lantaran konflik yang tak pernah bisa ditelusuri asal mula masalahnya. Ia berencana mengalihkan perhatian anak-anak dengan latihan sepak bola setiap jam 5 sore.

Tetapi tujuan mulia Sani untuk menciptakan rasa kesatuan dalam pikiran anak-anak didiknya berhadapan dengan kemiskinan yang sering dicecarkan Haspa, istrinya. Kebutuhan hidup sehari-hari semakin sulit dicari sebab sering kali perjalanan mengantar barang terancam peperangan di perbatasan. Tetapi di tengah banyak orang yang nyaris patah arang untuk menciptakan perdamaian di Maluku, Sani berani melakukannya. Bahkan ia mau tak mau rela dianggap sebagai suami yang tak dapat dibanggakan oleh istri dan anak-anaknya.

Cukuplah tentang alur cerita Cahaya dari Timur. Daripada kutuliskan sampai akhir lebih baik Anda menonton saja di bioskop. Aku lebih ingin menuliskan persepsiku tentang pesan yang disebarkan film yang juga diproduseri oleh Glenn Fredly ini. Bangsa kita sebenarnya penuh dengan kasih sayang antar sesama, tetapi pedihnya, bangsa kita juga amat mudah dijebak dalam konflik yang tak berujung-pangkal. Kita nyaris kesulitan mencari akar masalah dari setiap konflik yang terjadi, entah di Ambon, Madura, dan wilayah lain di Indonesia. Kita hanya bisa menduga, menonton, bahkan yang paling menyedihkan adalah, ikut terlibat dalam konflik yang sebenarnya kita sendiri tak tahu sedang memperjuangkan apa.

status cdt

Cahaya dari Timur mengingatkan kita tentang bagaimana setiap orang yang sadar, mau berbuat apa pun untuk mendidik rasa persatuan dan kesatuan rasa dalam jiwa anak-anak. Terutama jika kita tak sanggup mengubah orang tuanya yang merasa bangga dengan dendam yang diabadikan, ubahlah anak-anaknya. Putus mata rantai amarah dari orang tua kepada anak-anaknya. Kita berbuat untuk mendamaikan mereka, mengajarkan tentang menghargai perbedaan, dan bersama-sama menjadi kekuatan yang satu: Indonesia. Dalam film ini, bagaimana Sani berupaya menafikan kebanggaan sebagai orang Tulehu atau Passo, Islam atau Kristen, menjadi satu kebanggaan sebagai orang Maluku. Beta Maluku!

Terutama saat ini, ketika Pemilihan Presiden membuat kubu yang bukan sekadar beradu logika, beradu urat, tetapi juga beradu caci-maki dari pendukung yang satu terhadap pendukung saingannya. Beberapa onggok daging di antara teman-teman kita begitu mudah merendahkan harga dirinya sendiri dengan merendahkan orang lain, yang sebelumnya adalah temannya sendiri di media sosial seperti Facebook dan Twitter. Kepada mereka yang terjerembab dalam kubangan konflik yang hanya menguntungkan polit biro atau pun kaum borjuis, kusarankan, lebih baik nonton bioskop saja. Terutama menonton film Indonesia yang inspiratif seperti Cahaya dari Timur. Itu sudah!

Lihatlah Maluku hari ini. Tak lagi ada kentongan tiang listrik yang mencekam. Kentongan tiang listrik yang dapat menyambar nyawa siapa pun yang menjadi tumbal ketidakberadaban peperangan. Maluku kini lebih damai dibandingkan tahun 2000. Di pelosok negeri kita lainnya, semoga tak ada lagi kentongan tiang listrik yang membuat ibu-ibu khawatir kehilangan nyawa suami dan anaknya. Cukup sudah!

Informasi dan bla-bla-bla tentang film ini lebih baik lihat saja di cahayadaritimur.com tempat dari mana aku menempelkan foto-foto untuk postingan ini.

  • 25/06/2014