Desperado

Baiklah aku akan menceritakan apa adanya, tapi tolong pengakuanku ini jangan dipublikasikan! Sebab aku tak mau orang-orang tahu tentang kesepakatan-kesepakatan yang telah aku buat dengan para sahabat, hingga aku tetap bebas melakukan apa yang dimaknai jahat.

Pertama, tentang kematian direktur itu. Aku tidak pernah membunuhnya. Aku hanya sekadar menyatakan kepada beberapa orang sahabatku tentang kekecewaanku pada direktur itu. Aku kesal karena bisnis yang ia kembangkan sudah mengancam kelancaran bisnisku. Perkembangan bisnis mereka mengancam pasar yang telah aku bangun dalam berpuluh tahun. Aku hanya bilang kepada para sahabatku itu bahwa direktur itu telah mengancam masa depan bisnisku. Sahabatku bilang akan membereskan direktur itu. Aku tak pernah mengira kalau “membereskan” itu berarti membunuhnya. Aku tak mengira kalau sahabatku menyewa pemburu untuk membereskan direktur naas itu. yeach, mungkin memang sudah nasibnya mati di tangan pemburu. Mungkin waktu masih muda dulu, ia pernah membedil burung-burung di hutan terlarang. Boleh jadi kematiannya merupakan karma yang tak terelakkan.

Tentang bebasnya para pemburu dari pengadilan, itu merupakan kebetulan yang tak bisa dipungkiri kebenarannya. Mungkin memang belum saatnya pemburu itu dipenjara. Untuk hal itu, aku tak berbuat apa-apa. Aku hanya menyarankan kepada pengacaraku untuk membantu para pemburu itu.

Kebetulan pula aku kenal dekat dengan hakim yang memimpin pengadilan tersebut. Hakim itu sudah kuanggap saudara sendiri. Aku memang pernah memberikan fasilitas untuk ia dan keluarganya. Rumahku yang tidak terpakai di kompleks mewah itu memang tak pernah aku pakai. Jadi, daripada mubazir, ada baiknya aku sumbangkan untuknya. Kebetulan ia juga anak yatim. Jadi kupikir sebuah kemuliaan bisa berbuat baik dengan memberikan rumah itu untuk seorang yatim yang memang tak mempunyai rumah yang layak untuk dihuni untuk keluarganya yang cukup besar. Rumah prumnas tipe 21 mana cukup untuk menampung satu istri dan tujuh orang anak. Jadi aku terpanggil untuk membantu agar kehidupannya menjadi layak saja. Itu saja.

Aku tak pernah berharap hakim itu membalas segala pemberianku selama ini kepadanya. Mungkin ini merupakan buah dari keikhlasan yang telah aku berikan kepadanya. Aku teringat kata ustadz kala kecilku mengaji, kalau kita ikhlas dalam memberi, maka Tuhan akan membalasnya suatu saat nanti dengan balasan yang berlipatganda. Aku menganggap bahwa keputusannya membebaskan para pemburu yang disewa sahabatku itu merupakan balasan Tuhan atas keikhlasanku dalam menolong orang.

Kalau tentang hakim yang memimpin persidangan atas kasus korupsi yang kini mulai dilupakan media, kupikir tak ada bedanya dengan hakim di atas. Kebetulan saja hakim itu adalah anak angkatku. Semua biaya pendidikan dan biaya hidupnya di luar negeri dulu, aku yang menanggung. Memang aku senang sekali menolong orang-orang yang kesusahan. Hatiku terlalu lembut untuk mengetahui kenestapaan orang. Saat itu aku mengetahui bahwa hakim itu adalah anak muda yang berprestasi. Sayang sekali kalau orang tuanya di kampung tak bisa membiayai untuk melanjutkan pendidikan tinggi di luar negeri. Apakah salah jikalau aku menjadi bapak angkatnya?

Aku tak pernah meminta agar ia membebaskanku dan beberapa orangku dalam persidangan kasus korupsi. Mungkin ia terlalu menganggapku sebagai orang tuanya juga. Jadi menurut norma-norma yang ada, apakah pantas seorang anak menghukum orang tuanya yang telah berjasa? Lagi pula ini adalah masalah sepele. Uang yang ada dalam kas perusahaan itu memang dianggarkan untuk sumbangan. Jadi apa salahnya kalau aku merealisasikan anggaran tersebut kepada mereka yang berhak menerimanya. Mengenai uang itu, sepeserpun aku tak mendapatkannya. Buat apa sih? Aku sudah cukup kaya. Bahkan aku sendiri sering bingung mau menggunakan uangku. Akhirnya setiap orang yang aku rasa perlu dibantu, ya kubantu saja.

Ah, mengenai artis perempuan itu? Jangan salah paham! Dia itu bukan perempuan simpananku. Pertama kali bertemu dengannya adalah di Hotel X-Citing. Aku melihatnya sedang duduk sendiri termenung. Rasa kemanusiaanku terpanggil untuk menyapanya. Mungkin ia butuh bantuan. Dan kamipun akhirnya duduk satu meja saling berkenalan. Aku langsung akrab dengannya memang karena aku ini orangnya ramah, jadi siapa saja merasa aku bukan orang berpangkat yang harus dihormati. Banyak orang menganggapku sahabat karena sikapku selalu menunjukkan persahabatan dengan siapa saja. Begitu pula dengan perempuan itu. Aku merasa terpanggil untuk menolongnya menyelesaikan permasalahan yang dialaminya.

Sebagai mahluk Tuhan, kan kita diperintahkan untuk membantu dan membuat bahagia sesama. Rupanya tak cukup dengan meminta orangku memberikan cek sekadarnya. Ia lebih butuh hiburan, butuh buaian. Ia kesepian karena pacarnya mati entah oleh siapa. Jadi aku sekadar menghiburnya. Karena pembicaraan kami sangat pribadi, maka kuajak ia untuk melanjutkan pembicaraan di kamar. Kalian kan tahu, kalau berbicara di lobby itu terlalu riskan, apalagi untuk berbicara hal-hal yang sangat pribadi. Belum lagi jika bertemu wartawan gosip. Kasihan kalau sampai urusan pribadinya terumbar di media.

Di kamar niatnya kami hanya sekadar ngobrol. Ia bercerita banyak tentang hidupnya yang sangat merana.Ia tak pernah merasakan hidup senang. Saking pedihnya ia bercerita hingga meneteskan air mata. Melihat seorang perempuan menangis, siapa yang tak tahan untuk mengusapnya. Orang yang normal pasti ingin menghibur orang yang sedang sedih. Jadi hal itu kulakukan. Hingga aku dan dia menghabiskan waktu di kamar dengan niat untuk saling membahagiakan.

Apa yang kami lakukan di kamar itu tak ada salahnya. Sebab niatku itu positif untuk membahagian orang lain. Perempuan itu pun punya niat yang sama untuk membahagiakanku. Segalanya kan, tergantung niat. Aku pernah baca hadits Nabi bahwa segala sesuatu itu tergantung niatnya, jika niatnya baik maka kita akan mendapatkan kebaikan, tetapi jika niatnya buruk, maka buruk pula apa yang kita lakukan. Ah, tapi sudahlah. Lupakan urusan sepele itu.

Kalau tentang penggusuran di perkampungan miskin itu, terus terang saja aku sebenarnya tidak tega melihatnya. Coba saja kamu bayangkan! Mereka tinggal di tempat yang kumuh dan amat sangat tidak sehat. Bagaimana dengan anak-anak mereka yang masih kecil-kecil? Anak-anak itu kan generasi bangsa yang akan mempimpin negeri ini di kemudian hari. Sangat tidak layak kalau anak-anak bangsa itu tinggal di gubug-gubug reyot dan kumuh seperti itu.

Lagi pula dalam hubungannya dengan luar negeri, akan sangat memalukan jika di negeri yang kaya raya ini masih terdapat perkampungan kumuh seperti itu. Kalau perwakilan negara-negara sahabat ada yang melihat, muka kita mau ditaruh dimana? Inikan akan menjatuhkan martabat bangsa kita sendiri. Karena itu kupikir mereka harus dibantu, dipindahkan, dilayakkan. Bukan digusur. Memangnya mereka pasir!

Maka dari itu aku menertibkan mereka agar tidak tinggal di tempat yang tidak layak itu. Toh mereka bisa tinggal di desa yang hijau dan subur. Dari pada mereka menjadi gembel di kota ini, kan lebih baik mereka jadi petani. Ingat! Petanilah yang sebenarnya pahlawan kita. Tanpa mereka, kita mau makan apa? Kalian harus bangga jika masih ada orang yang mau kembali menjadi Petani. Aku sendiri bangga dengan mereka yang memilih kembali membangun desanya ketimbang hidup tak keruan di kota. Kalian harus ingat apa kata pepatah yang artinya kira-kira, “lebih baik hidup di negeri sendiri, dari pada di negeri orang”!

Mengenai pemilu aku tak tahu sama sekali. Aku ini basic-nya seorang pengusaha, bukan politikus. Aku sudah mendelegasikan urusan kampanye, strategi dan taktik politik kepada teman-teman yang memang ahli di bidangnya. Kalian harus ingat, segala permasalahan akan beres dengan baik jika diserahkan kepada ahlinya. Betul begitu?! Jadi biarlah mereka yang mengatur urusan partaiku. Toh mereka pun sudah paham betul bagaimana mauku.

Jadi aku cukup tenang saja begini. Masih banyak urusan lain yang aku harus selesaikan. Masih banyak orang yang harus aku tolong. Jadi cukup sampai sini dulu perbincangan kita. Yang mana daripada kalau kita punya kesempatan, boleh kita lanjutkan kembali. Toh, berbuat jujur seperti yang kulakukan ini, kan merupakan perbuatan yang terpuji. Betul begitu?!!

© Mataharitimoer, 16 April 2004
ilustrasi foto: GK dan MA di Bari Klathak
 

  • 07/01/2013