Cita-cita Kusni

“Laper bisa bikin orang miskin nekad, tapi kalo rakus memang udah tabiatnya orang kaya yang korup. Mereka nggak pernah kelaperan, tapi tetep aje rakus. mangkanya tetep korupsi! Tapi kita-kita yang miskin tapi nekad, yang selalu disalahin, dijedodin ke tembok, ditangkep, bahkan kalo perlu didor!” Umbar Kusni, abang ojek yang sepanjang jalan senang bercengkrama denganku. 

Entah bagaimana mulanya obrolan sampai mengarah ke situ. Kalau tidak salah pemicunya karena kami melintasi jalur dari hotel Akmani menuju Tanah Abang lanjut ke Palmerah. Ia menceritakan kejadian tanggal 14 Januari 2016 saat dar-der-dor antara polisi dan sekelompok teroris terjadi. Selepas lampu merah, si abang ojek yang mengaku bernama Kusni ini tak berhenti “nyerocos”. Ia menganggap sekelompok orang yang disebut teroris itu adalah orang-orang yang membenci NKRI karena miskin. Menurutnya, orang miskin paling gampang diajak nekad. Tinggal dipicu sentimen soal kesenjangan hidup antara kaya dan miskin, mau saja diajak berontak. Ia pun menambahkan sebab-sebab kenapa orang miskin gampang diajak berontak, salah satunya adalah mencari pekerjaan halal saja susah. Mau dagang jujur, pasti kalah sama kebanyakan pedagang yang curang. Mau jadi pegawai yang jujur, pasti diancam sama atasan yang culas. dan macam-macam contoh tekanan hidup yang dialami orang miskin, menurut perspektif Kusni, si Abang Ojek.

Aku sampaikan pendapatku, bahwa tidak semua orang miskin di Indonesia sama seperti yang ia nyatakan. Banyak orang miskin yang akrab denganku tetapi mereka tak menjadikan kemiskinannya sebagai alasan untuk melakukan kejahatan apalagi menebar kebiadaban. Aku menceritakan tentang salah seorang tukang kue putu yang pernah kutulis di bukuku berjudul Guru Kehidupan, (tapi aku nggak bilang soal buku itu ke Kusni). Tukang kue putu itu tetap berdagang secara jujur meskipun teman-temannya melakukan jalan pintas menuju kekayaan. Ia tetap memilih bersikap jujur, meskipun tetap miskin. Kutambahkan bahwa tukang kue putu itu memilih jujur, bukan memilih miskin. Miskin adalah satu hal, sedangkan jujur dan tidak jujur adalah hal lain yang kita sendiri penentunya. Miskin atau bukan para pembom itu, buatku bukan alasan yang membuat mereka ngebom. Nekad atau tidaknya mereka untuk bergabung dalam kelompok pembom itu adalah pilihan, bukan karena dipaksa kemiskinan.

Kusni tak sependapat denganku. Menurutnya kemiskinanlah yang bikin teroris itu nekad melakukan bom bunuh diri. Selanjutnya ia menceritakan kisah hidupnya. Mungkin lebih tepat kubilang, ia menceritakan penderitaannya.

Kusni lahir dari keluarga miskin di perkampungan kumuh di Jakarta Selatan. Rumahnya ibarat kandang burung merpati yang sempit. Bahkan sejak kecil ia sering melihat (terpaksa) orang tuanya bersenggama, sebab memang tak ada lagi kamar terpisah. Mereka tinggal satu ruangan bersama. Kusni hanya punya ijazah SD. Ia tak bisa melanjutkan sekolah menengah pertama (SMP) karena orang tua tak sanggup membiayainya. Kemiskinan membuatnya enggan mencari uang buat sekolah. Ia lebih suka mencari uang untuk makan sehari-hari. Buat anak zaman sekarang mungkin berpikir, koq bisa nggak sekolah SMP, bukannya gratis? Ketahuilah bahwa SMP gratis baru ada sejak zaman reformasi. 

Kusni sempat tertangkap beberapakali waktu sedang mencuri ikan di Pasar darurat seberang stasiun kereta. Pernah ditahan dan ditabokin gara-gara nyolong jemuran, tauran, membongkar tape mobil tetangga, dan puncaknya adalah ketika ia disiksa sekelompok pemuda tegap berseragam tak jelas lantaran ia membunuh anjing milik orang kaya di kompleks sebelah. Mungkin kejadian terakhir itulah yang membuatnya benci dengan orang kaya. Menurutku, sih. Sebab usai ia menceritakan bagian itu, ia menyudahi dengan dampratan, “Anjing!”

“Sekarang kenapa bang Kusni memilih jadi sopir ojeg ketimbang melakukan perbuatan kriminal?” Tanyaku.

“Udah banyak yang kriminal, bang. Jadi saya milih ngojek aja.” jawabnya.

“Salut, walaupun miskin, Abang tetap memilih pekerjaan yang baik, nggak nekad!” Pujiku, sambil menepuk-tepuk pundaknya dan tersenyum karena jawabannya menggugurkan pendapatnya di awal.

Ia melanjutkan kisahnya. Rupanya ia sudah bingung mau melakukan kejahatan apa lagi. Ia merasa sudah cukup melengkapi hidupnya dengan berbagai perbuatan kriminal. Cuma satu impian yang tak pernah kesampaian, yaitu ingin menjadi seperti Robin Hood, menjadi perampok untuk dibagi-bagikan kepada rakyat miskin Indonesia. Rencana itu adalah merampok dan membunuh orang kaya setiap hari, lalu menyebarkannya untuk rakyat miskin dan membangun rumah ibadah semua agama, biar orang miskin, apapun agamanya, cukup beribadah saja sebab hidupnya ia yang tanggung. 

“Kenapa cita-cita itu tak dikejar?” tanyaku penasaran. 

Yang kutanya hanya tertawa saja.

  • 26/01/2016