#BJR15, lalu Aku Jatuh Cinta

Pagelaran jazz rutin yang menjadi icon Bogor memasuki tahun keempat. Bogor Jazz Reunion (BJR) 2015 memilih Kebun Raya Bogor sebagai tempat perhelatan yang mengangkat tema “Respect the Nature“.

Aku benar-benar menancapkan tanggal 31 Oktober hanya untuk acara ini. Bukan karena tahun kemarin sempat absen, tetapi karena BJR sudah seperti acara keluarga yang jika absen, seperti ada rasa yang hilang. Bagaimana mungkin anggota keluarga lainnya sibuk menyiapkan nak-nik-nuk BJR, sementara aku hanyut dalam arus kesibukan lain.

30 Malam kami pun menyiapkan BJR di Kebun Raya. Inilah kali pertama menikmati Kebun Raya Bogor di malam hari. Lengang, sejuk, dan ada damai yang kurasakan. Berbeda ketika menikmati Kebun Raya di Grand Garden Cafe & Resto yang ada di sudut lain Kebun Raya. Di lokasi BJR di belakang Museum Zoologi ini lebih hening. Karena itulah usai perhelatan BJR aku menyempatkan berjalan kaki sendiri ke beberapa lokasi di Kebun Raya ini.

Respect the Nature yang menjadi tagline BJR kurasakan tepat. Duduk sendiri dalam gelap di antara pohon-pohon raksasa, benar-benar dapat menyatukan kedirianku di alam malam. Wajar jika Bang Idang pun sempat menyendiri di “Hutan Samida” ini hingga jam 2 pagi, semalam sebelum perhelatan digelar.

Hutan Samida?

Ya, Kebun Raya Bogor pada abad ke-16 merupakan bagian dari hutan buatan yang dilindungi Kerajaan Pajajaran. Tentang hal ini tertulis pada prasasti Batu Tulis Bogor.

Informasi di atas merupakan sedikit materi yang disampaikan kepada para penonton pada sesi Tutur Tanah Air. Seperti dua kegiatan Tutur Tanah Air sebelumnya, Kang Endang Sumitra, selaku Kepala Rumah Tangga Istana Bogor menuturkan sejarah Bogor. Konsepnya berupa obrolan yang diiringi jazz Idang Rasjidi. Namun pada kesempatan BJR, Tutur Tanah Air cukup diisi dengan obrolan saja karena jatahnya hanya 30 menit. Biasanya sih 3-4 jam. Indahnya, Tutur Tanah Air kali ini dibuka dengan duet Mang Bojay dan Mang Gola dengan alat musik tradisional yang memukau.

Kehadiran tim Tutur Tanah Air, meskipun hanya sebentar namun cukup meluaskan wawasan BJR kali ini. Seperti yang dituturkan oleh salah seorang penonton seusaiku memoderatori Tutur Tanah Air, “saya nggak nyangka di acara Jazz bisa ada diskusi menarik tentang sejarah Bogor. Makin keren banget deh BJR kali ini!”. Kesan lain tentang Tutur Tanah Air dapat dibaca pada reportase lengkap Titik Asa tentang BJR15.

Apalagi yang ada di BJR 2015 selain musik yang melimpahruah?

Pertemanan dan persahabatan. Itu yang bisa didapatkan. Di sini aku kesampaian bertemu teman-teman dari berbagai kisah. Salah satunya Titik Asa, seorang blogger penggila jazz. Hampir di setiap acara jazz di negeri ini, selalu disambanginya. Salut!

Satu hal lagi yang membedakan BJR15 dengan tiga BJR lainnya adalah tata panggung yang “menjaga keutuhan penonton”. Lokasi Panggung 1, 2, dan 3, membentuk segitiga yang membuat penonton tak terlalu jauh berpindah-pindah untuk menikmati rangkaian penampilan berantai dari panggung ke panggung.

Kali ini aku sedikit sekali memotret BJR15. Hanya ada beberapa video yang kurekam langsung dari hape. Proses perekaman dadakan yang hanya mengandalkan tombol play/pause pada kamera.

Oemay and No Rules Quartet saat membuka BJR15

Tritone saat melanjutkan BJR15 #JazzHujan

Apresiasi Idang Rasjidi di ujung acara

Terakhir, BJR15 membuatku jatuh cinta pada penampilan Lantun Orchestra. Sampai-sampai, sekelarnya BJR15 aku langsung mengunduh lagu-lagu yang tersedia di Soundcloud mereka.

https://youtu.be/sPuUuln5Y-k

  • 20/11/2015